1. Rutinitas yang Mendadak Berubah
Saat liburan Lebaran yang durasinya cukup panjang, kita biasanya keluar dari rutinitas harian. Pola tidur berubah, pola makan cenderung lebih bebas, bersantai lebih lama, dan terhindar dari tekanan pekerjaan atau aktivitas berat. Namun, setelah liburan berakhir, kita dihadapkan pada perubahan mendadak: harus kembali bangun pagi, mengejar target, mematuhi jadwal, dan menghadapi tekanan sehari-hari.
Transisi drastis dari “mode liburan” ke “mode kerja” inilah yang sering memicu stres, kelelahan, dan perasaan tidak nyaman secara fisik maupun mental. Tubuh belum siap, pikiran masih ingin bersantai, tetapi kenyataan menuntut untuk kembali produktif.
2. Ekspektasi Liburan yang Tidak Terpenuhi
Kita sering membangun harapan tinggi terhadap liburan. Misalnya, bisa mudik dengan lancar, berkumpul tanpa konflik, menikmati makanan favorit, atau merasa damai secara emosional dan spiritual. Namun dalam kenyataannya, tidak semua berjalan mulus. Kemacetan parah, perbedaan pendapat dengan keluarga, suasana hati yang tak stabil, atau rencana yang gagal, bisa membuat liburan jauh dari ekspektasi.
Ketika libur usai, kita tidak hanya merasa lelah, tapi juga kecewa. Rasa kecewa ini sering kali tertahan selama liburan dan baru benar-benar terasa ketika kembali ke kehidupan sehari-hari, sehingga muncul sebagai rasa murung, hampa, atau tidak puas.
3. Kehilangan Atmosfer Ramadan yang Penuh Makna
Ramadan bukan sekadar bulan puasa, tapi juga momentum spiritual yang sangat dalam. Ada rutinitas ibadah yang intens seperti sahur, buka puasa bersama, shalat tarawih, tadarus, dan berbagai kegiatan keagamaan lain yang memberikan rasa damai dan tujuan hidup.
Ketika semua itu berakhir, banyak orang merasa seperti kehilangan pegangan. Ibadah tidak lagi seintens sebelumnya, tidak ada lagi suasana kolektif berbagi dan beribadah bersama. Kekosongan ini tidak selalu disadari, tetapi dapat memicu perasaan kehilangan yang membekas sebagai sebuah void emosional dan spiritual yang menimbulkan post-holiday blues.
4. Kembali ke Kehidupan yang Lebih Sepi
Selama liburan, suasana biasanya ramai, rumah dipenuhi keluarga, obrolan hangat, tawa, dan momen kebersamaan yang jarang terjadi di hari-hari biasa. Tapi setelah itu, semuanya berangsur normal. Bagi banyak orang, terutama yang merantau atau tinggal sendiri, perubahan ini bisa sangat mencolok.
Kesunyian yang datang setelah keriuhan membuat hati terasa kosong. Tidak jarang, ini memunculkan rasa rindu mendalam, kesepian, bahkan sedih yang tidak jelas penyebabnya. Perbedaan suasana yang drastis ini menjadi pemicu kuat munculnya post-holiday blues.
5. Tekanan Finansial Pasca-Lebaran
Libur Lebaran sering kali diiringi dengan lonjakan pengeluaran. Mulai dari tiket perjalanan mudik, belanja baju baru, hampers, konsumsi berlebih, hingga pemberian THR untuk kerabat. Saat euforianya berlangsung, semua terasa “wajar” dilakukan. Namun setelah liburan selesai, kenyataan finansial mulai terasa, tabungan menipis, tagihan menumpuk, dan arus kas terganggu.
Tekanan keuangan ini bisa menyebabkan stres, rasa cemas, dan beban pikiran yang berlarut-larut. Dalam beberapa kasus, tekanan ini juga bisa memicu konflik rumah tangga atau membuat seseorang merasa gagal dalam mengelola keuangannya selama liburan.
6. Minimnya Waktu untuk Menyesuaikan Diri
Tidak semua orang diberi waktu cukup untuk transisi dari libur ke kerja. Banyak dari kita langsung dihadapkan pada tumpukan pekerjaan sehari setelah liburan selesai. Padahal, tubuh dan pikiran masih “terjebak” dalam suasana libur.
Kurangnya waktu adaptasi ini membuat kita mudah merasa kewalahan. Tidak ada jeda untuk mencerna pengalaman liburan, tidak ada waktu untuk mempersiapkan mental. Akibatnya, hari pertama atau bahkan minggu pertama setelah liburan bisa terasa sangat berat dan membuat motivasi anjlok drastis.
7. Turunnya Motivasi Ibadah Setelah Ramadan
Ramadan mendorong kita untuk lebih disiplin dalam beribadah dan introspeksi diri. Banyak orang yang selama bulan puasa merasa lebih dekat dengan Tuhan, lebih tenang secara batin, dan lebih terkendali secara emosi. Namun, setelah Ramadan usai, tantangan baru muncul: bagaimana mempertahankan semangat itu?
Banyak yang merasa gagal menjaga konsistensi ibadah, merasa kurang semangat untuk kembali bangun malam, atau bahkan kehilangan arah spiritualnya. Perasaan bersalah, kehilangan ritme, dan kekosongan spiritual ini turut memperkuat gejala post-holiday blues, terutama bagi mereka yang menjadikan Ramadan sebagai titik balik kehidupan rohani mereka.