Liputan6.com, Jakarta Bulan Suro merupakan bulan yang dianggap sakral oleh masyarakat Jawa, di mana banyak tradisi dan kepercayaan yang dijunjung tinggi. Kepercayaan ini berakar dari sejarah dan budaya yang telah ada sejak lama, dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, terdapat sepuluh larangan yang diyakini dapat menjaga keselamatan dan menghormati kesakralan bulan Suro.
Larangan-larangan ini tidak hanya sekadar aturan, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan terhadap peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi pada bulan ini, termasuk tragedi Karbala yang sangat dihormati dalam agama Islam. Meskipun demikian, tidak semua orang Jawa mematuhi larangan-larangan ini secara ketat, dan banyak yang melihatnya sebagai pilihan pribadi dalam menjalani tradisi.
Berikut 10 larangan yang sering dijumpai di bulan Suro, yang diyakini dapat membawa keberkahan dan keselamatan bagi mereka yang menjalankannya. Mari kita simak lebih lanjut untuk memahami makna di balik larangan-larangan ini, dirangkum Liputan6.com, Senin (23/6).
1. Tidak Menggelar Hajatan atau Pesta
Menyelenggarakan pesta pernikahan atau perayaan besar lainnya di bulan Suro dianggap dapat mendatangkan malapetaka. Hal ini berkaitan dengan penghormatan terhadap peristiwa bersejarah dalam Islam, seperti tragedi Karbala. Banyak masyarakat Jawa yang percaya bahwa mengadakan hajatan di bulan ini dapat membawa kesialan bagi pasangan yang menikah.
Larangan ini tidak hanya berlaku untuk pesta pernikahan, tetapi juga untuk perayaan besar lainnya. Oleh karena itu, banyak orang memilih untuk menunda acara-acara penting hingga bulan berikutnya. Meskipun ada yang tetap melakukannya, banyak yang lebih memilih untuk menghormati tradisi ini demi menjaga keselamatan.
Dengan memahami latar belakang larangan ini, masyarakat diharapkan dapat lebih menghargai dan menghormati bulan Suro sebagai bulan yang sakral.
2. Tidak Pindah Rumah
Memindahkan tempat tinggal di bulan Suro dipercaya akan membawa kesialan bagi penghuni rumah baru. Banyak orang Jawa yang menghindari pindah rumah pada bulan ini, karena mereka percaya bahwa hal tersebut dapat mendatangkan masalah dan kesulitan di masa depan. Kepercayaan ini berakar dari tradisi yang telah ada selama berabad-abad.
Larangan ini juga mencerminkan pentingnya stabilitas dan ketenangan dalam kehidupan. Pindah rumah di bulan Suro dianggap sebagai tindakan yang tidak bijaksana, dan banyak yang lebih memilih untuk menunggu hingga bulan berikutnya. Dengan demikian, mereka berharap dapat menghindari segala bentuk kesulitan yang mungkin timbul.
Selain itu, larangan ini juga mengajarkan masyarakat untuk lebih menghargai tempat tinggal yang sudah ada, serta menjaga hubungan baik dengan lingkungan sekitar.
3. Tidak Membangun Rumah
Mulai membangun rumah di bulan Suro juga dianggap sebagai pamali. Banyak orang percaya bahwa proyek pembangunan yang dimulai di bulan ini akan mudah rusak dan tidak membawa keberuntungan. Oleh karena itu, masyarakat lebih memilih untuk menunda pembangunan hingga bulan-bulan berikutnya.
Larangan ini mencerminkan keyakinan bahwa bulan Suro adalah waktu yang tidak tepat untuk memulai hal-hal baru, termasuk pembangunan rumah. Masyarakat diajarkan untuk lebih berhati-hati dan introspektif dalam mengambil keputusan, terutama yang berkaitan dengan investasi jangka panjang.
Dengan menunda pembangunan, diharapkan masyarakat dapat lebih mempersiapkan diri dan merencanakan segala sesuatunya dengan lebih matang.
4. Tidak Bepergian Jauh
Perjalanan jauh di bulan Suro, kecuali untuk keperluan penting seperti ibadah atau hal mendesak, sebaiknya dihindari. Banyak orang Jawa yang percaya bahwa bepergian jauh di bulan ini dapat membawa kesialan. Oleh karena itu, mereka lebih memilih untuk tetap berada di rumah dan menjalani aktivitas yang lebih positif.
Larangan ini juga mencerminkan pentingnya menjaga keselamatan diri dan keluarga. Masyarakat diingatkan untuk lebih berhati-hati dalam merencanakan perjalanan, terutama di bulan yang dianggap sakral ini. Dengan menghindari perjalanan jauh, mereka berharap dapat terhindar dari segala bentuk bahaya.
Selain itu, larangan ini juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk lebih fokus pada kegiatan yang bermanfaat, seperti beribadah dan berdoa.
5. Tidak Berbicara Kasar atau Berisik
Menjaga sikap dan perkataan yang baik di bulan Suro sangat dianjurkan. Menghindari pertengkaran dan kebisingan dianggap penting untuk menjaga ketenangan dan kesucian bulan ini. Banyak orang Jawa yang berusaha untuk lebih sabar dan bijaksana dalam berinteraksi dengan orang lain.
Larangan ini mencerminkan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Jawa. Dengan menjaga sikap dan perkataan, diharapkan masyarakat dapat menciptakan suasana yang harmonis dan damai. Hal ini juga menjadi bentuk penghormatan terhadap bulan Suro yang dianggap sakral.
Dengan demikian, larangan ini tidak hanya berlaku untuk diri sendiri, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi orang lain.
6. Tidak Melakukan Aktivitas yang Tidak Penting
Di bulan Suro, masyarakat diimbau untuk fokus pada kegiatan yang positif dan bermanfaat. Aktivitas yang tidak penting sebaiknya dihindari, agar tidak mengganggu ketenangan bulan ini. Banyak orang yang memilih untuk beribadah, berdoa, dan berintrospeksi diri sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan Suro.
Larangan ini mencerminkan pentingnya penggunaan waktu dengan bijaksana. Dengan menghindari aktivitas yang tidak bermanfaat, masyarakat diharapkan dapat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan mendapatkan berkah di bulan ini. Hal ini juga menjadi kesempatan untuk merenungkan diri dan memperbaiki diri.
Dengan demikian, bulan Suro menjadi waktu yang tepat untuk melakukan refleksi dan perbaikan diri.
7. Menghindari Aktivitas yang Berkaitan dengan Dunia Gaib
Bulan Suro dianggap sebagai bulan di mana batas antara dunia nyata dan dunia gaib menjadi tipis. Oleh karena itu, aktivitas yang berkaitan dengan hal-hal gaib sebaiknya dihindari. Banyak orang Jawa yang percaya bahwa melakukan aktivitas tersebut dapat mendatangkan masalah dan kesulitan.
Larangan ini mencerminkan keyakinan bahwa bulan Suro adalah waktu yang sakral dan harus dihormati. Dengan menghindari aktivitas yang berkaitan dengan dunia gaib, masyarakat diharapkan dapat menjaga kesucian bulan ini dan terhindar dari segala bentuk gangguan.
Dengan demikian, larangan ini menjadi pengingat bagi masyarakat untuk lebih fokus pada hal-hal yang positif dan bermanfaat.
8. Menghindari Konflik
Dalam tradisi Jawa, bulan Suro dianggap sebagai momen yang sarat dengan makna spiritual. Pada periode ini, masyarakat dianjurkan untuk memperkuat kualitas hubungan dengan orang lain dan menghindari konflik dari berbagai sumber.
Ini adalah waktu yang tepat untuk introspeksi dan memperbaiki diri. Masyarakat Jawa percaya bahwa menjaga keharmonisan dan kedamaian selama bulan Suro dapat membawa berkah dan ketenangan dalam kehidupan. Oleh karena itu, penting untuk menghindari pertengkaran dan lebih fokus pada pengembangan diri serta memperbaiki hubungan sosial.
Dengan memanfaatkan bulan Suro sebagai waktu refleksi, individu didorong untuk merenungkan tindakan dan keputusan mereka. Ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dan memastikan bahwa hubungan dengan orang lain tetap harmonis dan damai.
9. Jangan Bermewah-Mewahan
Bulan Suro dianggap sebagai bulan untuk berintrospeksi dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Sikap prihatin dan menghindari perbuatan yang bermewah-mewahan. Banyak orang Jawa yang memilih untuk lebih fokus pada kegiatan spiritual dan introspeksi diri selama bulan ini.
Larangan ini mencerminkan pentingnya kesadaran diri dan refleksi. Dengan bersikap prihatin, masyarakat diharapkan dapat lebih memahami diri sendiri dan memperbaiki hubungan dengan orang lain. Hal ini juga menjadi kesempatan untuk merenungkan makna hidup dan tujuan hidup.
Dengan demikian, bulan Suro menjadi waktu yang tepat untuk melakukan perubahan positif dalam diri.
10. Tidak Melakukan Maksiat
Melakukan kegiatan spiritual seperti puasa, berdoa, dan berdzikir dianggap sebagai cara untuk membersihkan diri dan mendapatkan berkah di bulan Suro. Banyak orang Jawa yang melakukan tirakat sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan yang sakral ini.
Itulah mengapa, banyak yang meminta masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat kesenangan duniawi atau maksiat. Larangan ini mencerminkan pentingnya menjaga hubungan baik dengan Tuhan dan menjalani hidup dengan penuh kesadaran.
Dengan menjalankan ini, masyarakat diharapkan dapat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan dijauhkan dari petaka-petaka dunia yang buruk. Hal ini juga menjadi bentuk penghormatan terhadap tradisi yang telah ada di masyarakat Jawa. Adapun, berbagai perbuatan maksiat sejatinya memang harus dihindari oleh manusia.
Dengan demikian, larangan ini menjadi pengingat bagi masyarakat untuk selalu menjaga hubungan baik dengan Tuhan dan menjalani hidup dengan penuh kesadaran.
People Also Ask
1. Apa saja larangan di bulan Suro?
Larangan di bulan Suro antara lain tidak menggelar hajatan, tidak pindah rumah, dan tidak bepergian jauh.
2. Mengapa bulan Suro dianggap sakral?
Bulan Suro dianggap sakral karena berkaitan dengan peristiwa bersejarah dalam Islam dan tradisi masyarakat Jawa.
3. Apakah semua orang Jawa mengikuti larangan ini?
Tidak semua orang Jawa mengikuti larangan ini secara ketat; banyak yang melihatnya sebagai pilihan pribadi.
4. Bagaimana cara merayakan malam 1 Suro?
Cara merayakan malam 1 Suro bisa dengan introspeksi diri, berdoa, dan berkumpul bersama keluarga.
5. Apa makanan khas saat Malam 1 Suro?
Makanan khas yang sering disajikan antara lain bubur Suro, tumpeng, dan apem.