Liputan6.com, Jakarta Tiap awal Muharram, di berbagai penjuru Jawa, aroma bubur yang gurih dan kaya rempah menguar dari dapur ke dapur. Hidangan ini dikenal sebagai bubur Suro, sebuah sajian khas yang tak pernah absen dari perayaan 1 Suro, penanggalan yang bertepatan dengan 1 Muharram. Namun bubur ini lebih dari sekadar makanan — ia adalah simbol sejarah, spiritualitas, dan budaya yang menyatu.
Tradisi membuat bubur Suro bukan sekadar kebiasaan turun-temurun, tapi menyimpan kisah panjang yang berasal dari zaman Nabi Nuh AS. Dikisahkan bahwa bubur ini merupakan hasil dari perbekalan terakhir Nabi Nuh dan kaumnya saat mendarat usai banjir besar, di Hari Asyura, yakni 10 Muharram. Dari situlah makna syukur dan kebersamaan dalam semangkuk bubur ini berasal.
Tak hanya berakar dari cerita kenabian, bubur Suro juga berkembang menjadi simbol budaya Islam-Jawa sejak masa Sultan Agung. Ia bukan sesajen, melainkan uba rampe—alat makna—yang mencerminkan rasa syukur dan harapan akan keberkahan hidup.
Dari Perahu Nabi Nuh ke Dapur Masyarakat Jawa
Cerita awal bubur Suro bisa ditelusuri dalam kitab-kitab klasik Islam seperti I’anah Thalibin, Badai’ al-Zuhur, dan Nihayatuz Zain. Ketika perahu Nabi Nuh AS berlabuh pada tanggal 10 Muharram, beliau dan para pengikutnya merasa kelaparan karena bekal telah habis. Nabi Nuh kemudian meminta mereka mengumpulkan sisa makanan yang ada.
Bahan-bahan tersebut terdiri dari tujuh jenis biji-bijian: gandum, adas, ful, himmash (kacang putih), jelai, dan lainnya. Semuanya dimasak dalam satu wadah dan disantap bersama. Ini menjadi simbol keberkahan karena dengan bahan seadanya, seluruh penumpang kapal bisa kenyang. Inilah yang kemudian diyakini sebagai awal mula tradisi bubur Asyura.
Dalam Badai’ al-Zuhur disebutkan: “Fasomahu Nuh syukron lillah... kemudian Nuh mengeluarkan tujuh jenis biji-bijian, mencampurnya, dan memasaknya, lalu mereka makan pada hari itu, yaitu Asyura.” Praktik ini lalu berkembang menjadi kebiasaan umat Islam tiap 10 Muharram, yang di Indonesia dikenal sebagai bubur Suro.
Transformasi Sejarah ke Budaya Jawa
Tradisi bubur Suro menyebar luas di tanah Jawa, terutama setelah era Sultan Agung yang menyatukan kalender Jawa dan Hijriah. Kalender Saka disesuaikan agar 1 Suro bertepatan dengan 1 Muharram, memperkuat nuansa Islam dalam budaya lokal. Dari situlah bubur Suro menjadi bagian penting dalam perayaan awal tahun.
Sebagai bagian dari upacara adat, bubur Suro bukan dianggap benda keramat atau sesajen mistis. Melainkan sebagai simbol syukur kepada Tuhan, penuh doa dan harapan untuk keselamatan dan keberkahan hidup. Bahkan, jumlah bahan seperti tujuh macam kacang memiliki makna filosofis tersendiri, yaitu doa untuk keselamatan sepanjang tujuh hari dalam sepekan.
Simbolisme di Balik Tujuh Kacang dan Jeruk Bali
Dalam penyajian bubur Suro, tujuh jenis kacang wajib ada. Ini bukan tanpa alasan. Tujuh biji-bijian tersebut melambangkan doa keselamatan dalam tujuh hari seminggu, sebuah simbol agar hari-hari ke depan dilalui dengan berkah dan kebaikan. Kacang-kacang tersebut bisa berupa kacang tanah, kedelai, hijau, mede, dan lainnya.
Tambahan lainnya adalah suwiran jeruk Bali dan buah delima. Keduanya bukan sekadar pelengkap rasa, tetapi juga melambangkan harapan dan semangat. Rasa asam yang unik dari jeruk Bali memberi simbol keseimbangan dalam hidup: manis dan asam, suka dan duka.
Setiap elemen dalam bubur Suro membawa pesan. Santan dan rempah-rempah tradisional seperti kunyit, daun salam, dan serai menjadi ciri khas bubur ini. Maka tak heran, meskipun resepnya bervariasi di tiap daerah, semangat dan maknanya tetap sama: menyambut tahun baru dengan rasa syukur.
Tradisi Sosial: Dari Masjid ke Rumah-Rumah
Selain sebagai sajian keluarga, bubur Suro juga memiliki fungsi sosial. Di berbagai daerah seperti Palembang, Yogyakarta, dan Madura, tradisi membagikan bubur ini di masjid-masjid menjadi bagian dari sedekah. Bahkan, pengurus masjid akan memasak dalam jumlah besar untuk dibagikan ke jamaah dan masyarakat sekitar.
Makna sosial ini memperlihatkan bahwa tradisi tak hanya bersifat simbolik, tetapi juga praktik nyata dalam berbagi rezeki. Hal ini menegaskan semangat berbagi di awal tahun, agar kehidupan di bulan-bulan berikutnya penuh keberkahan.
Bubur Suro terkadang dibagikan masal di beberapa masjid di Pulau Jawa. Jadi bukan mistisnya saja yang orang awam tahu, tapi sekarang dibagikan sebagai bentuk berbagi rezeki kepada yang membutuhkan.
Pertanyaan Seputar Topik
Apa itu bubur Suro dan kenapa dibuat saat 1 Muharram?
Bubur Suro adalah bubur khas Jawa yang dibuat dari beras dan tujuh macam kacang, dimasak dengan rempah. Tradisi ini dilaksanakan pada 1 Muharram untuk mengenang selamatnya Nabi Nuh AS dari banjir besar dan sebagai ungkapan syukur masyarakat Muslim.
Apa makna dari tujuh jenis kacang dalam bubur Suro?
Tujuh kacang melambangkan tujuh hari dalam seminggu, sebagai doa agar setiap hari dalam seminggu diberi berkah dan keselamatan.
Apakah bubur Suro termasuk sesajen?
Tidak. Bubur Suro bukan sesajen, melainkan simbol budaya dan syukur dalam Islam-Jawa. Ia digunakan sebagai simbol doa dan kebersamaan, bukan untuk praktik animistik.