Liputan6.com, Jakarta Studio Ghibli telah menjadi nama yang tidak asing lagi di dunia animasi global. Didirikan pada tahun 1985 oleh duo legendaris Hayao Miyazaki dan Isao Takahata, Studio Ghibli telah menghasilkan karya-karya animasi yang tidak hanya memukau secara visual tetapi juga sarat akan makna filosofis yang mendalam. Keunikan karya Ghibli terletak pada kemampuannya menggabungkan unsur fantasi dengan realitas kehidupan sehari-hari, menciptakan dunia yang magis namun tetap terasa nyata bagi penonton dari berbagai kalangan dan usia.
Dalam perjalanannya yang panjang, Studio Ghibli telah mendapatkan pengakuan internasional melalui berbagai penghargaan bergengsi. Salah satu pencapaian tertinggi yang berhasil diraih oleh Ghibli adalah penghargaan Academy Awards atau yang lebih dikenal sebagai Oscar. Meskipun berasal dari Jepang, karya-karya Ghibli mampu menembus dominasi studio-studio animasi Barat, membuktikan bahwa seni animasi Jepang memiliki kualitas yang tidak kalah, bahkan dalam beberapa aspek lebih unggul dalam kedalaman cerita dan keindahan visual.
Hingga saat ini, dari belasan film yang telah diproduksi, Studio Ghibli berhasil mendapatkan lima nominasi Oscar dan memenangkan dua di antaranya. Prestasi ini menjadikan Ghibli sebagai salah satu studio animasi paling berpengaruh di dunia. Karya-karya yang dinominasikan dan memenangkan Oscar ini menjadi bukti nyata bagaimana kreativitas, dedikasi, dan ketelitian para kreator Ghibli dalam menghasilkan karya berkualitas tinggi yang mampu menembus batas budaya dan bahasa.
Lebih jelasnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber informasi lengkapnya pada Jumat (28/3).
Produser studio Ghibli membagikan tips menggambar karakter Totoro melalui akun youtube. Langkah ini dilakukan sebagai cara menghilangkan bosan anak=anak.
Spirited Away: Karya Pertama Studio Ghibli yang Memenangkan Oscar
"Spirited Away" atau dalam bahasa Jepang dikenal dengan judul "Sen to Chihiro no Kamikakushi" merupakan film animasi yang dirilis pada tahun 2001 dan berhasil memenangkan Academy Award untuk kategori Best Animated Feature pada tahun 2003. Pencapaian ini menjadi tonggak sejarah karena film ini merupakan film animasi Jepang pertama yang berhasil memenangkan Oscar, mengalahkan film-film produksi studio besar Amerika seperti Disney dan Pixar.
Film ini mengisahkan petualangan seorang gadis bernama Chihiro yang terjebak di dunia roh setelah orang tuanya diubah menjadi babi akibat memakan makanan yang ditujukan untuk para dewa. Untuk menyelamatkan orang tuanya dan kembali ke dunia manusia, Chihiro harus bekerja di pemandian air panas milik penyihir Yubaba dan menghadapi berbagai tantangan serta bertemu dengan beragam karakter unik dalam perjalanannya.
"Spirited Away" bukan hanya sukses di kancah internasional tetapi juga menjadi film terlaris sepanjang sejarah perfilman Jepang, bahkan mengalahkan pendapatan film Titanic di Jepang. Dari 37 nominasi penghargaan yang diperoleh sepanjang tahun 2001-2004, film ini berhasil memenangkan 34 di antaranya, menunjukkan betapa karya Hayao Miyazaki ini diakui kualitasnya oleh kritikus film di seluruh dunia.
Kemenangan "Spirited Away" di Academy Awards membuka jalan bagi karya-karya animasi Jepang lainnya untuk mendapatkan pengakuan global. Film ini mendobrak stereotip bahwa film animasi berkualitas tinggi hanya bisa diproduksi oleh studio-studio Barat, dan membuktikan bahwa cerita dengan latar belakang budaya Jepang yang kental pun bisa diterima dan diapresiasi oleh penonton internasional.
The Boy and The Heron: Karya Terakhir Miyazaki yang Mengukir Sejarah
Setelah lebih dari dua dekade sejak kemenangan "Spirited Away", Studio Ghibli kembali mengukir sejarah dengan film "The Boy and The Heron" (Kimitachi wa Dou Ikiru ka) yang memenangkan Oscar untuk kategori Best Animated Feature pada tahun 2024. Film yang dianggap sebagai karya terakhir Hayao Miyazaki ini mengisahkan seorang anak laki-laki bernama Mahito Maki yang berduka setelah kehilangan ibunya selama Perang Pasifik, kemudian bertemu dengan burung bangau yang membawanya ke dunia magis.
Kemenangan "The Boy and The Heron" menjadi spesial karena film ini merupakan karya comeback Miyazaki setelah sebelumnya ia mengumumkan pensiun. Proses pembuatan film ini juga memakan waktu bertahun-tahun, menunjukkan dedikasi dan perfeksionisme sang maestro dalam menciptakan karya terakhirnya. Film ini juga menandai era baru bagi Studio Ghibli yang sempat vakum dari produksi film animasi selama beberapa tahun.
Yang membuat pencapaian ini semakin luar biasa adalah fakta bahwa Miyazaki telah berusia 80-an tahun ketika mengerjakan film ini. Meskipun di usia senjanya, kreativitas dan kemampuannya dalam bercerita serta menciptakan dunia fantasi yang memikat tidak berkurang sedikitpun. "The Boy and The Heron" membuktikan bahwa Miyazaki memang pantas disebut sebagai salah satu sutradara animasi terhebat sepanjang masa.
Film ini juga mendapatkan pujian karena kedalaman temanya yang mengangkat isu-isu seperti kehilangan, trauma perang, dan pencarian identitas. Dibandingkan dengan karya-karya Ghibli sebelumnya, "The Boy and The Heron" memiliki tone yang lebih gelap dan dewasa, mencerminkan refleksi pribadi Miyazaki tentang kehidupan dan kematian di usia senjanya. Meskipun demikian, film ini tetap mempertahankan elemen fantasi dan keajaiban yang menjadi ciri khas Studio Ghibli.
Howl's Moving Castle: Fantasi Epik yang Dinominasikan Oscar
"Howl's Moving Castle" (Hauru no Ugoku Shiro) merupakan salah satu karya monumental Studio Ghibli yang berhasil masuk nominasi Academy Award untuk kategori Best Animated Feature pada 2006. Film yang dirilis pada tahun 2004 ini menjadi salah satu film dengan pendapatan terbesar sepanjang sejarah industri film Jepang, menghasilkan USD 235 juta dari peredaran global.
Diadaptasi dari novel karya Diana Wynne Jones, "Howl's Moving Castle" mengisahkan petualangan Sophie, seorang gadis pembuat topi yang dikutuk menjadi nenek tua oleh penyihir jahat bernama Witch of the Waste. Dalam usahanya mencari cara untuk membebaskan diri dari kutukan, Sophie bertemu dengan Howl, seorang penyihir tampan namun misterius yang tinggal di dalam kastil berjalan ajaib, dan berbagai karakter unik lainnya seperti api iblis bernama Calcifer.
Yang membuat film ini spesial adalah bagaimana Miyazaki menggabungkan elemen fantasi dengan pesan anti-perang yang kuat. Film ini diproduksi ketika Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak, dan Miyazaki tidak menyembunyikan kritiknya terhadap konflik bersenjata melalui adegan-adegan perang yang mengerikan dalam film. Meski demikian, film ini tetap menjaga keseimbangan dengan pesan-pesan positif tentang cinta, pengorbanan, dan penerimaan diri.
Dengan pengisi suara ternama seperti Takuya Kimura dan Chieko Baisho dalam versi Jepang, serta Christian Bale, Jean Simmons, dan Billy Crystal dalam versi bahasa Inggris, "Howl's Moving Castle" mendapatkan pujian atas keindahan visualnya yang memukau, desain karakter yang menawan, dan musik yang memikat karya Joe Hisaishi. Meskipun tidak memenangkan Oscar, nominasi ini menegaskan posisi Studio Ghibli sebagai salah satu pemain utama dalam industri animasi global.
The Wind Rises: Biografi Fiksi yang Menggugah Pemikiran
"The Wind Rises" (Kaze Tachinu) yang dirilis pada tahun 2013 dan dinominasikan di Academy Awards tahun 2014 sempat diumumkan sebagai karya terakhir Hayao Miyazaki sebelum ia memutuskan untuk kembali dari pensiunnya beberapa tahun kemudian. Film ini menandai pendekatan yang berbeda dari Miyazaki, meninggalkan fantasi yang biasa ia eksplorasi untuk mengangkat kisah hidup seorang tokoh nyata dengan latar belakang sejarah Jepang.
Film ini mengisahkan perjalanan hidup Jiro Horikoshi, seorang insinyur pesawat berbakat yang merancang pesawat tempur Mitsubishi A6M Zero yang digunakan Jepang pada Perang Dunia II. Dengan latar belakang zaman sebelum dan selama perang, film ini juga menggambarkan situasi Jepang pada masa tersebut, termasuk Gempa Besar Kanto 1923 dan keterlibatan negara dalam konflik militer. Selain karir profesionalnya, film ini juga menyentuh aspek kehidupan pribadi Jiro, termasuk kisah cintanya dengan Nahoko yang menderita tuberkulosis.
"The Wind Rises" mengeksplorasi tema-tema yang mendalam dan kompleks, seperti konflik antara mengejar impian pribadi dan konsekuensi moral dari impian tersebut. Jiro ingin menciptakan pesawat yang indah, namun ciptaannya digunakan sebagai alat perang yang menimbulkan kehancuran. Film ini mengajak penonton untuk merenungkan hubungan antara kreativitas, inovasi, dan tanggung jawab sosial, tanpa memberikan jawaban yang mudah atas pertanyaan-pertanyaan moral yang diajukan.
Meskipun dikalahkan oleh "Frozen" di Academy Awards, "The Wind Rises" mendapatkan pengakuan luas dari kritikus film sebagai salah satu karya terbaik Miyazaki. Film ini menunjukkan kedewasaan dan kompleksitas narasi yang jarang ditemukan dalam film animasi pada umumnya, membuktikan bahwa medium animasi dapat digunakan untuk mengeksplorasi tema-tema dewasa dan historis dengan kedalaman yang setara dengan film live-action. Nominasi Oscar yang diterima film ini menegaskan pencapaian artistik Miyazaki dan Studio Ghibli yang terus berkembang bahkan setelah puluhan tahun berkarya.
The Tale of the Princess Kaguya: Karya Terakhir Isao Takahata
"The Tale of the Princess Kaguya" (Kaguya-hime no Monogatari) yang dirilis pada tahun 2013 merupakan karya kelima sekaligus terakhir dari Isao Takahata, salah satu pendiri Studio Ghibli, sebelum beliau meninggal dunia pada tahun 2018. Film yang dinominasikan di Academy Awards tahun 2015 ini menandai comeback Takahata setelah jeda 15 tahun sejak film sebelumnya "My Neighbors the Yamadas" (1999).
Didasarkan pada cerita rakyat Jepang klasik "Taketori Monogatari" (Kisah Pemotong Bambu), film ini mengisahkan tentang seorang pemotong bambu yang menemukan bayi mungil di dalam batang bambu bercahaya. Ia dan istrinya yang tidak memiliki anak membesarkan bayi tersebut sebagai putri mereka. Gadis itu tumbuh dengan kecepatan luar biasa dan diberi nama Kaguya. Kecantikannya yang memukau membuat banyak bangsawan melamarnya, namun Kaguya memiliki asal-usul dan takdir yang lebih besar daripada kehidupan duniawi.
Yang membuat "The Tale of the Princess Kaguya" istimewa adalah pendekatan visual yang diambil Takahata. Berbeda dengan gaya animasi yang umum digunakan Studio Ghibli, film ini mengadopsi teknik gambar cat air dengan garis-garis yang terlihat seperti sketsa, menciptakan kesan lukisan tradisional Jepang yang bergerak. Gaya visual yang unik ini membutuhkan waktu produksi yang sangat panjang, yakni sekitar 8 tahun, dengan biaya produksi mencapai 5 miliar yen, menjadikannya salah satu film animasi termahal dalam sejarah perfilman Jepang.
Film ini mengeksplorasi tema-tema universal seperti identitas, kebebasan, konsekuensi dari ambisi orang tua, dan kerinduan akan kesederhanaan hidup. Takahata berhasil mengadaptasi cerita kuno menjadi narasi yang relevan dengan kehidupan modern, mengajak penonton untuk merenungkan nilai-nilai kehidupan yang seringkali terabaikan dalam hiruk-pikuk kemajuan zaman. Meskipun dikalahkan oleh "Big Hero 6" di Oscar, keindahan visual dan kedalaman cerita "The Tale of the Princess Kaguya" tetap membekas di hati penontonnya, menegaskan status Takahata sebagai salah satu sutradara animasi terhebat sepanjang masa.
When Marnie Was There: Film Penutup Sebelum Hiatus
"When Marnie Was There" (Omoide no Marnie) yang dirilis pada tahun 2014 dan dinominasikan di Academy Awards tahun 2016 menjadi karya terakhir Studio Ghibli sebelum mengalami hiatus produksi akibat pensiunnya Miyazaki dan Takahata. Film yang diadaptasi dari novel berbahasa Inggris karya Joan G. Robinson ini disutradarai oleh Hiromasa Yonebayashi, yang sebelumnya juga menyutradarai "The Secret World of Arrietty" (2010).
Film ini mengisahkan Anna Sasaki, seorang gadis berusia 12 tahun yang menderita asma dan kesulitan bersosialisasi. Untuk pemulihan kesehatannya, Anna dikirim untuk tinggal bersama kerabatnya di sebuah kota kecil di tepi laut. Di sana, ia menemukan sebuah vila tua yang tampak tidak berpenghuni namun saat tertentu dihuni oleh seorang gadis pirang bernama Marnie. Keduanya menjalin persahabatan yang erat, namun identitas sebenarnya dari Marnie ternyata menyimpan rahasia yang terkait dengan masa lalu Anna sendiri.
Berbeda dengan karya-karya Ghibli yang lebih awal yang sering kali mengangkat tema fantasi yang spektakuler, "When Marnie Was There" mengambil pendekatan yang lebih intim dan personal. Film ini mengeksplorasi tema-tema seperti kesepian, persahabatan, keluarga, dan penerimaan diri dengan pendekatan yang halus dan sensitif. Penyajian visual yang lembut dan atmosfer film yang melankolis berhasil menciptakan narasi emosional yang mendalam tanpa perlu mengandalkan adegan-adegan dramatis.
Meskipun tidak semencolok karya-karya Miyazaki atau Takahata, "When Marnie Was There" tetap mempertahankan kualitas tinggi yang menjadi standar Studio Ghibli. Nominasi Oscar yang diterimanya menjadi bukti konsistensi studio ini dalam menghasilkan karya berkualitas bahkan tanpa keterlibatan langsung para pendirinya. Film ini juga menandai transisi generasi di Studio Ghibli, menunjukkan bahwa studio ini memiliki potensi untuk terus menghasilkan karya-karya bermakna di tangan generasi baru pembuat film.
Perjalanan Studio Ghibli dari sebuah studio animasi lokal Jepang hingga menjadi nama yang diakui di pentas internasional, termasuk memenangkan dua piala Oscar, menunjukkan bahwa kualitas dan ketulusan dalam berkarya pada akhirnya akan mendapatkan pengakuan. Meski berhadapan dengan dominasi studio-studio besar Barat, Ghibli tetap berpegang pada visi artistiknya dan tidak mengorbankan identitas kultural demi popularitas semata.