9 Cerita Rakyat Pendek dari Pulau Sumatera untuk Si Kecil, Sarat Makna dan Pesan Moral

4 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta Membentang dari Aceh hingga pesisir Lampung, Pulau Sumatera menghadirkan banyak cerita rakyat pendek yang menarik dan penuh nilai moral. Dikisahkan secara turun-temurun, cerita pendek singkat ini menjadi hiburan bagi anak-anak sekaligus memberikan mereka pesan kehidupan yang mendalam. Cerita pendek anak ini juga menjadi cerminan kearifan lokal, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan menunjukkan konsekuensi dari segala perbuatan.

Setiap kisah membawa pesan berbeda yang cocok untuk diberikan pada anak-anak. Mulai dari kisah si Parkit hingga cerita Malin Kundang singkat, cerita rakyat akan jadi media pembelajaran yang menarik dan menghibur. Dilansir dari buku Rangkuman 100 Cerita Rakyat Indonesia Dari Sabang sampai Merauke yang disusun oleh Irwan Shouf dan Shenia Ananda, berikut kami sajikan beberapa cerita rakyat pendek dari Pulau Sumatera.

Cerita Rakyat Pendek: Si Parkit Raja Parakeet

Di tengah rimbunnya hutan Aceh, hiduplah sekawanan burung parakeet yang damai dan makmur. Mereka dipimpin oleh seekor burung bijak dan pemberani bernama Si Parkit, sang raja yang dicintai seluruh kawanan. Kehidupan mereka berjalan tenteram hingga suatu hari datanglah seorang pemburu yang berniat jahat. Ia menebar perangkap perekat untuk menangkap para burung itu. Untungnya, Si Parkit menyadari rencana busuk tersebut dan segera memperingatkan seluruh rakyatnya agar berhati-hati.

Namun, ketika kawanan itu keluar mencari makan, sebagian dari mereka tetap terjebak pada perekat pemburu. Mereka berusaha keras melepaskan diri, tetapi sia-sia. Melihat kepanikan itu, Si Parkit menenangkan mereka. Dengan tenang ia menyusun siasat: berpura-puralah mati ketika si pemburu datang melepaskan. Ketika pemburu benar-benar percaya mereka sudah mati, kawanan itu pun terbang melarikan diri saat lelaki itu lengah. Namun, Si Parkit malang masih tertinggal dan tertangkap. Saat sang pemburu hendak membunuhnya, Si Parkit memohon agar diberi kesempatan hidup dengan janji akan bernyanyi setiap hari untuk menghiburnya.

Kicauan Si Parkit ternyata begitu merdu hingga terdengar ke telinga Raja Aceh. Sang raja terpesona dan menebus burung itu dengan harga mahal. Si Parkit pun dibawa ke istana dan ditempatkan di sangkar emas dengan makanan lezat setiap hari. Walau hidup bergelimang kemewahan, hatinya tetap merindukan kebebasan dan hutan tempat asalnya. Maka, ia berpura-pura mati agar bisa lolos. Saat para pelayan melaporkan kematiannya kepada raja, Si Parkit dibawa untuk dikuburkan. Namun, tepat ketika sangkar dibuka, burung itu terbang tinggi ke langit. Ia akhirnya kembali ke hutan dan disambut meriah oleh seluruh kawanan yang sangat merindukannya.

Cerita Rakyat Pendek: Asal Usul Padi

Dahulu kala, di Tanah Karo, Sumatera Utara, terjadi kemarau panjang yang membuat penduduk menderita kelaparan. Di antara mereka, ada seorang ibu miskin dan anak laki-lakinya bernama Beru Dayang. Sang anak yang lemah terus menangis meminta makan, tetapi ibunya tak punya apa pun untuk diberikan. Tubuh kecil Beru Dayang kian hari kian lemas, hingga akhirnya ia meninggal dalam pelukan ibunya. Diliputi duka mendalam, sang ibu kehilangan harapan dan memilih mengakhiri hidupnya dengan terjun ke sungai. Tidak seorang pun mengetahui kepergiannya.

Beberapa waktu kemudian, dua anak kecil sedang mencari umbi-umbian di tanah yang tandus. Tiba-tiba, mereka menemukan buah aneh berbentuk bulat sebesar labu. Karena penasaran, mereka membawa pulang buah itu. Tak ada seorang pun yang tahu jenis buah apa itu, bahkan sang raja pun ikut datang melihat. Saat seluruh warga berkumpul, tiba-tiba terdengar suara dari langit: buah itu adalah jelmaan Beru Dayang, anak kecil yang meninggal karena kelaparan. Suara itu memerintahkan mereka untuk menanamnya agar menjadi sumber makanan, serta mempertemukan Beru Dayang dengan ibunya yang telah berubah menjadi ikan di sungai.

Penduduk pun menuruti pesan tersebut. Setelah tiga bulan, tanaman itu berbuah dan menguning indah. Ketika dipanen, dijemur, dan ditumbuk, mereka mendapati bahwa buah itu menghasilkan butiran kecil berwarna kuning emas yang bisa dimasak dan dimakan—itulah padi pertama di dunia. Untuk menghormati asal-usulnya, masyarakat Tanah Karo setiap tahun mengadakan makan bersama padi dan ikan, yang diyakini sebagai pertemuan abadi antara Beru Dayang dan ibunya.

Cerita Rakyat Pendek: Asal Usul Danau Toba

Konon, di sebuah daerah di Sumatera Utara, hiduplah seorang pemuda rajin yang suka memancing. Suatu hari, ia memancing di sungai namun lama tak juga mendapat hasil. Ia lalu melemparkan pancingnya ke tengah arus, dan tiba-tiba seekor ikan besar menyambar umpannya. Setelah berjuang keras, ikan itu berhasil ia tangkap dan dibawa pulang. Saat hendak memanggangnya, ia menyadari kayu bakar di dapur habis, maka ia pergi ke kamar untuk mengambilnya. Begitu kembali, betapa terkejutnya ia melihat ikan itu lenyap, berganti dengan beberapa keping emas.

Saat ia hendak menyimpan emas itu di kamar, muncul seorang gadis cantik yang mengaku jelmaan ikan tadi. Gadis itu meminta izin untuk tinggal bersamanya, dan lama-kelamaan mereka jatuh cinta serta menikah dengan syarat: sang suami tak boleh mengungkit asal-usulnya. Mereka hidup bahagia dan memiliki seorang anak laki-laki. Suatu hari, sang ibu menyuruh anak itu mengantarkan makanan untuk ayahnya di ladang. Di tengah jalan, anak itu lapar dan memakan sebagian bekal. Ketika sampai, ayahnya murka dan tanpa sadar melanggar sumpahnya dengan berkata, “Dasar anak keturunan ikan!”

Anak itu menangis dan pulang menceritakan semuanya pada ibunya. Mendengar itu, sang ibu sedih dan tahu waktunya telah tiba. Ia menyuruh anaknya naik ke puncak bukit, lalu berlari ke sungai. Seketika langit menggelap, petir menyambar, dan hujan turun deras. Sang ibu melompat ke sungai dan berubah menjadi ikan raksasa. Air pun meluap, menenggelamkan lembah luas hingga terbentuklah sebuah danau besar. Sejak saat itu, danau tersebut dikenal dengan nama Danau Toba, dan pulau di tengahnya dipercaya sebagai tempat anak lelaki itu selamat.

Cerita Rakyat Pendek: Sabai nan Aluih

Dahulu di Padang Tarok, hiduplah seorang raja bijak bernama Rajo Babanding. Ia memiliki seorang putri cantik, lembut, dan berbakti bernama Sabai nan Aluih. Kecantikan dan keanggunan Sabai tersiar hingga ke Kampung Situjuh, tempat sahabat lama ayahnya, Rajo nan Panjang. Mendengar kabar itu, Rajo nan Panjang yang sudah berusia tua mengutus orang untuk melamar Sabai. Namun, lamaran itu ditolak secara halus karena usia mereka terpaut jauh. Merasa harga dirinya tersinggung, Rajo nan Panjang datang sendiri untuk melamar, namun lagi-lagi ditolak dan akhirnya menantang Rajo Babanding bertarung.

Pada hari yang ditentukan, kedua raja itu bertemu di Padang Panahunan. Pertarungan berlangsung sengit hingga para pengawal mereka pun tumbang. Namun, saat Rajo Babanding hampir menang, pengawal Rajo nan Panjang secara licik menembak dada Rajo Babanding hingga tewas. Seorang gembala yang menyaksikan kejadian itu segera memberi tahu Sabai. Tanpa ragu, Sabai mengambil senapan dan bergegas ke Padang Panahunan. Di perjalanan, ia berpapasan dengan Rajo nan Panjang. Hatinya membara karena marah, terlebih ketika Rajo nan Panjang menertawakannya dengan angkuh.

Dengan tangan gemetar tapi tekad kuat, Sabai menodongkan senjatanya dan menarik pelatuk. Rajo nan Panjang terjatuh seketika, tewas di tempat. Pengawalnya melarikan diri ketakutan. Sabai berlari menuju ayahnya, namun ia sudah tidak bernyawa. Ia menangis sejadi-jadinya di padang itu, menyadari bahwa keadilan telah ditegakkan, namun harus dibayar dengan kehilangan ayah yang sangat ia cintai.

Cerita Rakyat Pendek: Si Malin Kundang

Di sebuah kampung nelayan di pesisir Sumatera, hiduplah seorang anak bernama Malin Kundang bersama ayah dan ibunya. Suatu hari, sang ayah berlayar ke negeri seberang untuk mencari nafkah, namun tak pernah kembali. Kabar yang beredar mengatakan ia telah meninggal di laut. Sejak itu, sang ibu bekerja keras sendirian membesarkan Malin. Malin tumbuh menjadi anak yang cerdas dan rajin, meski kadang nakal. Suatu hari, ia terjatuh saat mengejar ayam, meninggalkan luka kecil di lengannya—bekas yang kelak menjadi tanda pengenal penting.

Ketika dewasa, Malin merasa iba melihat ibunya yang semakin tua. Ia bertekad merantau agar bisa memperbaiki nasib. Meski berat, sang ibu akhirnya merelakannya pergi. Dalam pelayaran, kapal Malin diserang bajak laut. Hampir semua awak dibunuh, namun Malin selamat karena bersembunyi di ruang sempit. Setelah lama terombang-ambing, kapal itu terdampar di pantai negeri lain. Dengan kerja keras dan kecerdasannya, Malin perlahan menjadi pedagang kaya raya dan akhirnya menikahi seorang gadis bangsawan.

Kabar keberhasilannya sampai juga ke telinga sang ibu, yang bahagia mendengar anaknya kini sukses. Suatu hari, kapal megah berlabuh di kampungnya, dan Malin turun bersama istrinya. Sang ibu mengenali bekas luka di lengannya dan memeluknya dengan haru. Namun, Malin justru menepis pelukan itu dan menghardiknya, malu di hadapan istrinya. Ia mengingkari ibunya sendiri. Hati sang ibu hancur. Dengan air mata bercucuran, ia menengadah dan berdoa, “Jika benar dia anakku, biarlah Tuhan menunjukkan kuasa-Nya.” Tak lama kemudian, badai datang menggulung lautan, kapal hancur diterjang petir, dan tubuh Malin perlahan membatu di tepi pantai. Sejak saat itu, batu itu dikenal masyarakat sebagai Batu Malin Kundang, simbol durhaka seorang anak kepada ibunya.

Cerita Rakyat Pendek: Asal Usul Nama Kota Dumai

Dahulu kala, di wilayah yang kini dikenal sebagai Dumai, berdirilah sebuah kerajaan makmur bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang ratu bijaksana, Cik Sima, yang terkenal adil dan berwibawa. Sang ratu memiliki tujuh orang putri yang semuanya cantik dan berbudi pekerti halus. Mereka dikenal dengan sebutan Putri Tujuh, namun dari semuanya, yang paling memesona adalah si bungsu bernama Mayang Sari.

Suatu hari yang cerah, ketujuh putri pergi mandi ke Lubuk Sarang Umai, tempat yang airnya jernih dan dikelilingi pepohonan rindang. Tanpa mereka sadari, dari kejauhan Pangeran Empang Kuala bersama para pengawal sedang memperhatikan mereka. Pandangan sang pangeran seketika terpaku pada Mayang Sari. Kecantikan sang putri membuat hatinya bergetar, hingga ia berbisik lirih, “Gadis cantik di lubuk Umai... cantik di Umai... dumai... dumai...” Sejak saat itulah, konon, kata Dumai mulai disebut-sebut dan kelak menjadi nama daerah tersebut.

Beberapa hari kemudian, Pangeran Empang Kuala mengutus orang untuk melamar Putri Mayang Sari. Ratu Cik Sima menyambut baik niat itu, namun menurut adat kerajaan, putri tertualah yang harus menerima pinangan terlebih dahulu. Mendengar pinangannya ditolak, Pangeran Empang Kuala merasa malu dan marah. Ia lalu mengerahkan pasukan untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung.

Mengetahui ancaman itu, Ratu Cik Sima segera membawa ketujuh putrinya melarikan diri ke hutan. Mereka dibekali makanan cukup untuk tiga bulan, sementara sang ratu kembali ke istana untuk memimpin pasukan melawan musuh. Pertempuran berlangsung berbulan-bulan tanpa henti. Suatu sore, saat pasukan Pangeran Empang Kuala beristirahat di bawah pohon bakau di hilir Umai, tiba-tiba ribuan buah bakau berjatuhan dan menimpa mereka. Tubuh-tubuh mereka tertusuk hingga tak berdaya.

Melihat itu, utusan Ratu Cik Sima datang menemui Pangeran Empang Kuala. Ia berkata bahwa alam negeri Seri Bunga Tanjung telah murka karena peperangan ini. Mendengar kata-kata itu, sang pangeran tersadar dari amarahnya. Ia pun memerintahkan pasukannya mundur, dan sejak hari itu, kedamaian kembali menyelimuti bumi Dumai.

Cerita Rakyat Pendek: Hang Tuah Ksatria Melayu

Pada masa silam, di tanah Melayu, lahirlah seorang pemuda gagah berani bernama Hang Tuah. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan keberanian luar biasa. Saat berumur sepuluh tahun, Hang Tuah bersama empat sahabat karibnya—Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu—berlayar menyeberangi Laut Cina Selatan. Dalam perjalanan, mereka berkali-kali diserang bajak laut, namun dengan keberanian dan kecerdikan, mereka selalu berhasil menaklukkannya.

Kisah kehebatan mereka sampai ke telinga Bendahara Paduka Raja Bintan, yang kemudian mengangkat kelimanya sebagai anak angkat. Sejak saat itu, nama Hang Tuah mulai dikenal luas. Suatu hari, di istana Majapahit terjadi keributan besar. Seorang prajurit tangguh bernama Taming Sari mengamuk tanpa sebab. Hang Tuah maju menghadapi Taming Sari dalam pertarungan sengit dan berhasil mengalahkannya. Sebagai penghargaan, raja menganugerahkan padanya gelar Laksamana serta memberikan keris Taming Sari, senjata pusaka yang konon memiliki kekuatan gaib.

Hang Tuah menjadi laksamana yang setia dan disegani. Namun kesetiaannya menimbulkan iri di hati Patih Kerma Wijaya, yang kemudian menebar fitnah keji hingga membuat raja murka dan mengusir Hang Tuah dari Melaka. Ia pun pergi ke Indrapura untuk menenangkan diri. Beberapa waktu kemudian, utusan dari Melaka datang memintanya kembali karena raja menyesal. Hang Tuah pun kembali dan kembali mengemban tugas sebagai Laksamana.

Dalam salah satu misinya, ia berlayar ke negeri Cina. Di pelabuhan, rombongannya berselisih dengan orang Portugis. Dalam perjalanan pulang, kapal mereka diserang, namun Hang Tuah berhasil memimpin perlawanan dan mengalahkan musuh. Tidak terima kekalahan itu, Gubernur Portugis di Manila mengirim armada besar untuk menyerang Melaka. Hang Tuah yang saat itu tengah sakit, tetap memimpin pasukan dengan gagah berani. Sebuah peluru meriam menghantam tubuhnya hingga ia terlempar ke laut, tetapi ia berhasil diselamatkan.

Pertempuran berakhir tanpa pemenang. Setelah sembuh, Hang Tuah memilih pensiun dan hidup menyepi di bukit Jugara, menikmati sisa hidupnya dalam ketenangan. Namanya tetap dikenang sebagai simbol kesetiaan dan keberanian bangsa Melayu.

Cerita Rakyat Pendek: Siamang Putih

Di sebuah kerajaan di tanah Minangkabau, hiduplah seorang raja bernama Tuanku Raja Kecik. Ia memiliki cucu perempuan yang cantik jelita, Puti Julian. Suatu malam, menjelang pesta pencarian jodohnya, Puti Julian bermimpi bertemu seorang pemuda tampan bernama Sutan Rumandang. Dalam mimpi itu, pemuda itu tersenyum padanya seolah memberi janji.

Saat pesta besar digelar, Puti Julian mencari-cari sosok yang bernama Sutan Rumandang, tetapi tak satu pun tamu yang memiliki nama itu. Hari berganti hari, pesta pun usai, namun sosok dalam mimpinya tak pernah muncul. Hingga suatu ketika, sebuah kapal layar berlabuh di dermaga, dan seorang pemuda gagah turun dari kapal. Ia memperkenalkan diri di istana—namanya Sutan Rumandang! Hati Puti Julian bergetar, karena ia yakin pemuda inilah lelaki dalam mimpinya.

Raja dan keluarga istana sangat gembira, dan keduanya pun dijodohkan. Namun sebelum berpisah untuk sementara, Sutan Rumandang bersumpah, “Jika aku menikah dengan perempuan lain selainmu, biarlah aku tenggelam bersama kapalku di laut.” Puti Julian pun berjanji, “Dan jika aku menikah dengan lelaki lain selain engkau, biarlah aku menjadi siamang.” Setelah itu, Sutan Rumandang berlayar meninggalkan kerajaan.

Dua tahun berlalu tanpa kabar. Memasuki tahun ketiga, seorang pedagang muda tampan berlabuh di pelabuhan. Tatapan dan wibawanya membuat hati Puti Julian luluh. Ia pun menikah dengan pemuda itu. Namun ketika penghulu menanyakan kesediaannya, Puti Julian mendadak berteriak keras dan melompat ke atap rumah. Seketika tubuhnya berubah menjadi siamang putih.

Raja Kecik menangis melihat cucunya berubah wujud. Beberapa hari kemudian, ditemukan siamang putih itu mati di pohon tempat ia bersarang. Tak lama berselang, kabar datang bahwa Sutan Rumandang beserta kapalnya tenggelam di laut karena menikahi putri dari negeri lain. Keduanya sama-sama melanggar sumpah, dan itulah akhir tragis kisah cinta mereka.

Cerita Rakyat Pendek: Tujuh Anak Lelaki

Di sebuah kampung di Aceh, kemarau panjang melanda tanpa henti. Tanaman layu, sungai mengering, dan persediaan makanan hampir habis. Penduduk hidup dalam kesusahan, termasuk sepasang suami istri miskin yang memiliki tujuh anak laki-laki masih kecil. Mereka bertahan hidup dengan menanam sayuran, namun hasilnya tak cukup untuk makan sehari-hari.

Dalam keputusasaan, pasangan itu sepakat melakukan hal yang menyedihkan—mereka akan meninggalkan ketujuh anaknya di hutan, berharap ada orang baik yang menolong mereka. Tanpa mereka sadari, anak bungsu mendengar rencana itu.

Keesokan harinya, mereka mengajak anak-anaknya ke hutan dengan alasan mencari kayu bakar. Saat tengah hari, orang tua itu berpura-pura mencari air, lalu diam-diam pergi meninggalkan anak-anaknya. Ketika sore tiba dan orang tua mereka tak kembali, salah satu anak mengungkapkan kebenaran yang ia dengar malam sebelumnya. Mereka pun menangis sedih, menyadari telah ditinggalkan.

Dengan langkah gontai, mereka berjalan tanpa arah hingga menemukan sebuah rumah besar di tengah hutan. Rumah itu ternyata milik seekor raksasa baik hati. Raksasa itu memberi mereka makanan lezat dan membekali mereka emas serta intan agar bisa bertahan hidup. Dengan bekal itu, mereka pergi ke kota dan menjual perhiasan tersebut kepada saudagar kaya. Uang hasil penjualan digunakan untuk membangun rumah dan memulai hidup baru.

Tahun demi tahun berlalu. Ketujuh anak itu tumbuh menjadi orang-orang berhasil. Suatu hari, mereka sepakat mencari orang tua mereka. Setelah perjalanan panjang melewati kampung demi kampung, akhirnya mereka menemukan kedua orang tua yang dulu meninggalkan mereka. Dengan penuh kasih, mereka membawa ayah dan ibu mereka pulang. Sejak saat itu, keluarga itu hidup bahagia bersama, saling memaafkan dan mensyukuri kehidupan yang baru.

Pertanyaan dan Jawaban

1. Apa itu cerita rakyat dari Pulau Sumatera?

Cerita rakyat Sumatera adalah kisah turun-temurun yang menceritakan asal-usul, legenda, dan nilai kehidupan masyarakat Sumatera.

2. Apa pesan moral dari kisah Malin Kundang?

Pesan utamanya adalah pentingnya berbakti kepada orang tua dan tidak sombong atas kesuksesan.

3. Dari daerah mana asal cerita Danau Toba?

Cerita Danau Toba berasal dari Sumatera Utara, tepatnya dari wilayah Batak.

4. Mengapa cerita rakyat penting untuk dilestarikan?

Karena mengandung nilai moral, sejarah, dan budaya yang memperkuat identitas bangsa.

5. Siapa tokoh terkenal dalam cerita rakyat Sumatera?

Beberapa tokoh terkenal antara lain Malin Kundang, Sabai Nan Aluih, dan Hang Tuah.

Read Entire Article
Photos | Hot Viral |