Liputan6.com, Jakarta Tradisi lebaran di Madura memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dari daerah lain di Indonesia. Sebagai pulau yang dikenal dengan kekentalan budaya dan religiusitasnya, Madura menyimpan berbagai ritual dan kebiasaan yang telah diwariskan secara turun-temurun dalam merayakan momen Idul Fitri. Kekhasan tradisi lebaran di Madura tercermin dari rangkaian kegiatan yang dilakukan masyarakatnya, mulai dari persiapan hingga perayaan hari raya itu sendiri.
Setiap tahunnya, tradisi lebaran di Madura selalu dinanti-nantikan oleh masyarakat setempat maupun para perantau yang bersiap untuk pulang ke kampung halaman. Berbagai persiapan dilakukan dengan sangat teliti, mulai dari membersihkan rumah, menyiapkan hidangan khas, hingga mengatur agenda kunjungan ke rumah kerabat dan tokoh masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi lebaran di Madura bukan sekadar perayaan keagamaan, tetapi juga momen penting untuk mempererat tali silaturahmi dan menjaga nilai-nilai budaya.
Keunikan tradisi lebaran di Madura semakin terasa dengan adanya berbagai ritual dan kebiasaan yang mungkin tidak ditemui di daerah lain. Mulai dari tradisi ter-ater (berbagi makanan), toron (mudik), hingga nyabis (berkunjung ke tokoh agama), setiap elemen dalam perayaan lebaran memiliki makna mendalam yang mencerminkan karakteristik masyarakat Madura yang religious dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan.
Lebih jelasnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum tradisi-tradisi lebaran di Madura selalu dinanti-nantikan oleh masyarakat setempat, pada Senin (10/2).
Dalam kesempatan ini juga dimanfaatkan mereka untuk bertemu dengan ulama Sekabupaten Bangkalan.
Ter-ater: Tradisi Berbagi Keberkahan di Hari Raya
Salah satu tradisi paling khas dalam perayaan lebaran di Madura adalah ter-ater, sebuah tradisi membagikan makanan kepada tetangga dan kerabat. Tradisi ini bukan sekadar aktivitas berbagi makanan biasa, melainkan simbol kebersamaan dan keberkahan yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Madura. Dalam pelaksanaannya, keluarga akan menyiapkan berbagai hidangan special yang akan dibagikan kepada tetangga sekitar.
Yang menarik dari tradisi ter-ater adalah proses persiapannya yang sangat detail dan penuh makna. Masyarakat Madura umumnya akan menyembelih ayam atau bebek yang mereka pelihara sendiri untuk dijadikan lauk. Hal ini menunjukkan kemandirian dan keinginan untuk memberikan yang terbaik dalam berbagi dengan sesama. Hidangan yang dibagikan biasanya terdiri dari nasi putih, lauk pauk seperti ayam atau daging sapi, serta pelengkap seperti bihun kecap dan serundeng.
Tradisi ter-ater tidak hanya dilaksanakan pada hari raya Idul Fitri, tetapi juga pada momen-momen penting lainnya. Namun, pelaksanaannya saat lebaran memiliki makna khusus karena menjadi simbol pembersihan diri dan berbagi keberkahan setelah menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Meski di tengah pandemi, masyarakat Madura tetap melestarikan tradisi ini dengan penyesuaian protokol kesehatan, menunjukkan betapa pentingnya tradisi ini dalam mempererat hubungan sosial.
Nyabis: Penghormatan kepada Tokoh Agama
Tradisi nyabis merupakan bentuk penghormatan masyarakat Madura kepada para tokoh agama atau kiai yang telah memberikan pendidikan dan bimbingan spiritual. Tradisi ini mencerminkan kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan sosial masyarakat Madura, sekaligus menunjukkan tingginya penghargaan terhadap ilmu agama dan para pengajarnya. Dalam pelaksanaannya, masyarakat akan mengunjungi rumah para kiai untuk bersilaturahmi dan meminta doa restu.
Lebih dari sekadar kunjungan formal, nyabis memiliki dimensi spiritual yang dalam bagi masyarakat Madura. Tradisi ini menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan nasihat dan pandangan hidup dari para tokoh agama yang dihormati. Bahkan, banyak yang memanfaatkan moment ini untuk berkonsultasi tentang berbagai persoalan kehidupan, mulai dari masalah pekerjaan hingga rencana masa depan.
Menariknya, tradisi nyabis tidak mengenal batasan usia atau status sosial. Baik muda maupun tua, sukses maupun sederhana, semua merasa perlu untuk melakukan nyabis sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan atas jasa para guru spiritual mereka. Tradisi ini juga menjadi cara untuk menjaga kesinambungan nilai-nilai religious dan moral yang telah diajarkan, sekaligus mempererat ikatan antara murid dan guru.
Toron: Pulang Kampung ala Madura
Istilah toron dalam bahasa Madura, yang berarti "turun", menjadi sebutan khas untuk tradisi mudik atau pulang kampung. Pemilihan kata ini memiliki filosofi mendalam, di mana masyarakat Madura memposisikan pulau mereka sebagai tempat yang lebih rendah secara geografis, sehingga siapapun yang pulang ke Madura dianggap "turun". Tradisi ini menjadi momen yang sangat dinanti, terutama bagi para perantau yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Berbeda dengan kebanyakan daerah lain, toron di Madura tidak hanya dilakukan saat Idul Fitri saja. Tradisi ini juga berlaku pada perayaan hari besar Islam lainnya seperti Idul Adha dan Maulid Nabi. Namun, momentum lebaran tetap menjadi saat yang paling ramai untuk toron, di mana hampir seluruh perantau Madura akan berusaha pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga besar mereka.
Keunikan toron terletak pada ritualnya yang tidak sekadar pulang kampung biasa. Ada serangkaian kegiatan yang harus dilakukan, mulai dari mengunjungi keluarga besar, bersilaturahmi dengan tetangga, hingga ziarah ke makam leluhur. Semua ini mencerminkan kuatnya ikatan kekeluargaan dan penghormatan terhadap tradisi dalam masyarakat Madura.
Festival Daul: Musik Pengiring Lebaran
Festival Daul merupakan manifestasi kesenian khas Madura yang mengiringi perayaan Idul Fitri, terutama di Kabupaten Sampang. Berkembang dari seni musik tong-tong yang monoton, Daul telah bertransformasi menjadi pertunjukan musik perkusi yang lebih dinamis dan menghibur. Festival ini tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga wadah pelestarian budaya dan ajang kreativitas masyarakat Madura.
Dalam pelaksanaannya, Festival Daul menampilkan berbagai kelompok musik dari seluruh penjuru Pulau Madura. Setiap kelompok akan menampilkan kreasi terbaiknya dengan setup alat musik yang lengkap, ditambah dengan hiasan dan pengeras suara yang memakan biaya hingga Rp30 juta. Besarnya investasi ini menunjukkan keseriusan masyarakat dalam melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional mereka.
Dukungan penuh dari Pemerintah Daerah terhadap Festival Daul mencerminkan pentingnya tradisi ini dalam kehidupan budaya masyarakat Madura. Meski sempat terhenti akibat pandemi, semangat untuk mempertahankan dan mengembangkan kesenian ini tetap hidup dalam hati masyarakat Madura. Festival Daul menjadi bukti nyata bahwa tradisi dapat terus berkembang tanpa kehilangan esensinya.
Ketupat Bawang: Tradisi Unik Hari Ketujuh
Berbeda dengan kebanyakan daerah di Indonesia yang menyajikan ketupat pada hari pertama lebaran, masyarakat Madura memiliki tradisi unik dengan menyajikan ketupat pada hari ketujuh setelah Idul Fitri. Tradisi ini dikenal dengan nama "lebaran ketupat" atau dalam bahasa Madura "Tellas Ketopa'". Yang membuat tradisi ini semakin istimewa adalah jenis ketupat yang disajikan, yaitu ketupat bawang yang memiliki bentuk khas segi empat.
Pembuatan ketupat bawang menjadi ritual tersendiri bagi masyarakat Madura. Mereka menggunakan janur atau daun kelapa muda yang dianyam dengan teliti untuk membentuk wadah ketupat. Proses pembuatannya membutuhkan keahlian khusus, terutama untuk mendapatkan bentuk segi empat yang sempurna. Ketupat ini kemudian akan diisi dengan beras dan direbus hingga matang.
Pada perayaan lebaran ketupat, masyarakat Madura akan menyajikan ketupat bawang bersama dengan berbagai hidangan pendamping. Tradisi ini menjadi momen spesial yang ditunggu-tunggu, karena selain menikmati hidangan khas, masyarakat juga berkumpul dan bersilaturahmi kembali setelah seminggu merayakan lebaran. Keunikan tradisi ini menjadi salah satu daya tarik budaya Madura yang patut dilestarikan.
Krepek Kancor: Kuliner Khas Lebaran
Tradisi membuat Krepek Kancor atau kerupuk dengan topping kacang menjadi salah satu ciri khas persiapan lebaran di Madura. Pembuatan kudapan ini biasanya dilakukan pada H-2 lebaran, melibatkan seluruh anggota keluarga dalam prosesnya. Keunikan Krepek Kancor tidak hanya terletak pada rasanya yang khas, tetapi juga pada fungsinya sebagai pelengkap hidangan khas lebaran.
Krepek Kancor biasanya disajikan bersama dengan Campur kuah pada hari ketujuh lebaran atau Tellas Ketopa'. Kombinasi antara lontong ketupat, toge, bihun, dan kuah khas Campur, ditambah dengan renyahnya Krepek Kancor menciptakan harmoni rasa yang menjadi identitas kuliner lebaran Madura. Tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Madura memadukan berbagai elemen kuliner dalam perayaan lebaran mereka.
Menariknya, pembuatan Krepek Kancor tidak sekadar aktivitas memasak biasa, tetapi juga menjadi momen untuk berkumpul dan berbagi cerita antar anggota keluarga. Proses pembuatannya yang membutuhkan waktu dan kesabaran menjadi kesempatan bagi generasi tua untuk menurunkan resep dan teknik pembuatan kepada generasi muda, sehingga tradisi ini dapat terus terjaga.
Ajhuko' Dhághing: Menu Spesial Lebaran
Tradisi menyajikan Ajhuko' dhághing atau menu daging spesial menjadi salah satu ciri khas lebaran di Madura yang tidak bisa dipisahkan dari perayaan Idul Fitri. Berbeda dengan hari-hari biasa di mana menu sehari-hari lebih sederhana, saat lebaran masyarakat Madura akan menyajikan hidangan istimewa berupa daging ayam dan daging sapi yang dimasak dengan bumbu khas Madura.
Keistimewaan Ajhuko' dhághing tidak hanya terletak pada jenis dagingnya, tetapi juga pada proses persiapannya. Masyarakat Madura memiliki kebiasaan memelihara sendiri ayam, itik, atau bebek di pekarangan rumah mereka yang nantinya akan disembelih khusus untuk hidangan lebaran. Hal ini mencerminkan kemandirian dan keinginan untuk menyajikan hidangan terbaik pada momen spesial.
Tradisi menyajikan Ajhuko' dhághing ini juga menjadi simbol kemakmuran dan rasa syukur masyarakat Madura dalam merayakan Idul Fitri. Dibandingkan dengan menu sehari-hari yang biasanya terdiri dari tahu dan tempe, hidangan daging pada saat lebaran menjadi sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu dan memiliki nilai sosial tinggi dalam masyarakat.
Arebbe Bengaseppo: Mengenang Leluhur di Hari Raya
Salah satu tradisi yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat Madura adalah Arebbe bengaseppo atau selamatan untuk mengenang arwah leluhur. Tradisi ini dilaksanakan dengan membawa nasi, air, dan jajanan khas lebaran ke musala atau masjid terdekat sebagai bentuk penghormatan dan doa untuk para leluhur yang telah mendahului.
Keunikan tradisi ini terlihat dari cara masyarakat Madura mengemas jajanan lebaran dalam kaleng biskuit yang diisi dengan makanan tradisional seperti rengginang. Hal ini menjadi fenomena menarik yang menunjukkan kreativitas dan adaptasi budaya lokal, di mana wadah modern digunakan untuk menyajikan makanan tradisional dalam ritual keagamaan.
Arebbe bengaseppo tidak hanya menjadi ritual spiritual, tetapi juga sarana untuk menjaga hubungan antara generasi yang masih hidup dengan leluhur mereka. Tradisi ini mengajarkan nilai-nilai penting tentang penghormatan kepada orang tua dan leluhur, sekaligus menjadi pengingat akan akar budaya dan identitas masyarakat Madura.
Beragam tradisi lebaran di Madura yang telah diwariskan secara turun-temurun ini menjadi bukti kekayaan budaya Indonesia yang patut dilestarikan. Setiap ritual dan kebiasaan yang dilakukan memiliki makna mendalam, mencerminkan nilai-nilai luhur seperti kebersamaan, penghormatan, spiritualitas, dan pelestarian budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Madura.