Liputan6.com, Jakarta Kabar mengejutkan datang dari sektor manufaktur tekstil nasional setelah PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada Senin (21/10/2024).
Putusan pailit ini menjadi pukulan telak bagi perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara yang didirikan oleh H.M Lukminto pada 1966 dan telah beroperasi selama lebih dari lima dekade dengan pasar di lebih dari 100 negara.
Melansir dari Antara, Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang Haruno Patriadi membenarkan putusan pailit tersebut muncul setelah mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Perseroan yang memiliki total liabilitas mencapai US$1,54 miliar atau setara Rp24,3 triliun ini menghadapi gugatan karena dinilai tidak memenuhi kewajiban pembayaran utang yang telah disepakati sebelumnya.
Putusan pailit ini tidak hanya berdampak pada Sritex sebagai induk usaha, tetapi juga menyeret tiga anak perusahaan lainnya yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
Nasib sekitar 11.249 karyawan Grup Sritex kini berada dalam ketidakpastian, belum lagi investor publik yang masih memegang 39,89% saham SRIL yang telah disuspensi sejak Mei 2021 terancam mengalami kerugian besar. Berikut Liputan6.com mengulas lengkap PT Sritex pailit melansir dari berbagai sumber, Kamis (24/10/2024).
Hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) merombak susunan pengurus baik komisaris dan direksi pada Jumat, 17 Maret 2023.
Putusan Pailit dari Pengadilan Niaga Semarang
Kabar mengejutkan datang dari industri tekstil Indonesia ketika PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Putusan ini tertuang dalam perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg yang diketuai oleh Hakim Muhammad Anshar Majid.
Melansir dari Antara, Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang Haruno Patriadi menegaskan, "Mengabulkan permohonan pemohon. Membatalkan rencana perdamaian PKPU pada bulan Januari 2022."
Putusan ini muncul setelah PT Indo Bharat Rayon sebagai kreditur mengajukan pembatalan perdamaian dalam PKPU.
Putusan pailit ini tidak hanya menyangkut Sritex, tetapi juga mencakup tiga anak perusahaan lainnya: PT Sinar Pantja Djaja,PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya. Keempatnya dinyatakan pailit dengan segala konsekuensi hukumnya.
Besarnya Utang yang Menghimpit Sritex
Permasalahan utang menjadi faktor utama jatuhnya Sritex. Berdasarkan laporan keuangan per September 2023, total liabilitas perusahaan mencapai US$1,54 miliar atau setara Rp24,3 triliun (kurs Rp15.820 per dolar AS).
Utang ini sebagian besar berasal dari utang bank dan obligasi, termasuk secured working capital revolver (WCR) sebesar US$373,6 juta, secured term loan (STL) US$472,8 juta, dan unsecured term loan (UTL) US$480,7 juta.
Melansir dari Bloomberg, beban utang yang besar ini diperparah dengan penurunan pendapatan secara drastis. Menurut laporan keuangan kuartal I-2024, Sritex membukukan rugi US$14,79 juta, meningkat 32,90% dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Dampak Terhadap Nasib Karyawan
Sebelum dinyatakan pailit, Sritex merupakan salah satu perusahaan tekstil dengan jumlah karyawan terbesar. Per Maret 2024, jumlah karyawan tetap tercatat sebanyak 11.249 orang, menurun signifikan dari 14.138 karyawan pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Penurunan jumlah karyawan ini sejalan dengan pernyataan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) yang mencatat 13.800 buruh tekstil terkena PHK dari Januari 2024 hingga awal Juni 2024, termasuk dari grup Sritex.
Putusan pailit ini berpotensi mempengaruhi nasib ribuan karyawan yang masih bekerja di Sritex dan anak perusahaannya, mengingat status pailit akan mempengaruhi operasional perusahaan secara keseluruhan.
Sejarah dan Profil Sritex sebagai Raksasa Tekstil
Sritex merupakan salah satu perusahaan tekstil terintegrasi terbesar di Asia Tenggara yang berlokasi di Sukoharjo, Jawa Tengah. Didirikan pada tahun 1966 oleh H.M Lukminto, perusahaan ini berkembang dari pedagang tekstil tradisional di Pasar Klewer, Solo, menjadi pemain utama industri tekstil global.
Portofolio produk Sritex mencakup empat lini produksi terintegrasi: benang, kain mentah, kain jadi, dan pakaian jadi. Perusahaan ini bahkan memproduksi seragam militer untuk NATO dan tentara Jerman sejak 1994, menunjukkan kapabilitas produksi yang memenuhi standar internasional.
Melansir dari dokumentasi perusahaan, Sritex memiliki pasar di lebih dari 100 negara dan mempekerjakan puluhan ribu karyawan sebelum mengalami kesulitan keuangan. Perusahaan ini mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia pada 2013 dengan kode saham SRIL.
Dampak Pailitnya Sritex pada Pasar Modal
Status pailit Sritex memberikan dampak signifikan bagi pasar modal Indonesia. Saham SRIL telah disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 18 Mei 2021, menyebabkan kerugian bagi investor publik yang masih memegang 8,15 miliar lembar saham atau setara 39,89% kepemilikan.
PT Huddleston Indonesia sebagai pengendali utama masih memegang 59,03% saham, sementara generasi kedua Keluarga Lukminto yakni Iwan Setiawan Lukminto dan Iwan Kurniawan Lukminto masing-masing memiliki 0,53% dan 0,52% saham.
Putusan pailit ini menambah risiko delisting saham SRIL dari BEI, mengingat masa suspensi yang sudah berlangsung lama. Hal ini berpotensi merugikan investor publik yang tidak dapat melepas kepemilikan sahamnya.
Penyebab Utama Kejatuhan Sritex
Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi pada kejatuhan Sritex. Melansir dari Antara, menurut pernyataan Direktur Keuangan Sritex Welly Salam, pandemi COVID-19 dan konflik geopolitik global seperti perang Rusia-Ukraina serta Israel-Palestina menyebabkan gangguan rantai pasok dan penurunan ekspor.
Persaingan dari produk tekstil China yang melakukan dumping harga juga memberikan tekanan berat. Produk-produk ini menyasar negara-negara dengan aturan impor yang longgar, termasuk Indonesia, sehingga mempengaruhi pangsa pasar Sritex.
Perseroan juga mengalami defisit dan defisiensi modal hingga 31 Maret 2024 sebesar US$1,17 miliar, menunjukkan ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansialnya dan mempertahankan kelangsungan usaha.
Efek Pailitnya Sritex bagi Industri Tekstil Nasional
Pailitnya Sritex memberikan dampak domino bagi industri tekstil nasional. Sebagai salah satu pemain terbesar, kejatuhan Sritex menunjukkan kerentanan industri tekstil dalam negeri terhadap persaingan global dan gejolak ekonomi.
Melansir data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara, dampak ini telah terlihat dari PHK massal di berbagai perusahaan tekstil, termasuk anak perusahaan Sritex seperti PT Sinar Pantja Djaja di Semarang, PT Bitratex di Kabupaten Semarang, dan PT Djohartex di Magelang.
Putusan pailit ini juga mempengaruhi rantai pasok industri tekstil nasional, mengingat Sritex merupakan produsen benang, kain, dan pakaian jadi yang memasok bahan baku ke berbagai perusahaan garmen dalam negeri.
Hal ini berpotensi mengganggu stabilitas industri tekstil secara keseluruhan dan memerlukan antisipasi dari pemangku kepentingan terkait.