Liputan6.com, Jakarta Dalam era modern yang semakin kompleks, pola asuh orang tua menjadi faktor krusial yang membentuk fondasi karakter dan kepribadian seorang anak. Seiring dengan berkembangnya berbagai metode pengasuhan, muncul sebuah fenomena yang kini menjadi sorotan publik dan memicu kekhawatiran di kalangan para pendidik dan psikolog, yaitu konsep 'strawberry parents'. Fenomena ini tidak hanya menjadi trending topic di media sosial, tetapi juga menjadi bahan diskusi serius di kalangan praktisi pendidikan dan pengembangan anak.
Istilah 'strawberry parents' lahir sebagai representasi dari gaya pengasuhan yang cenderung terlalu melindungi dan memanjakan anak, hingga tanpa disadari menciptakan generasi yang dikenal sebagai 'strawberry generation'. Seperti halnya buah stroberi yang memiliki karakteristik lembut dan mudah memar, generasi yang terbentuk dari pola asuh ini cenderung memiliki ketahanan mental yang rapuh dan kesulitan menghadapi tantangan kehidupan. Pola asuh ini menjadi cerminan dari kecemasan berlebihan orang tua modern yang berusaha menjauhkan anak-anak mereka dari segala bentuk kesulitan dan kegagalan.
Agar lebih paham, berikut ini Liputan6.com ulas mengenai pengertian strawberry parents dan ciri-cirinya yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Jumat (15/11/2024).
Soal anak dan juga orang tua, ini sayang anak dengan turun tangan menyelesaikan permasalahan anak di sekolah. Apakah ini termasuk hal yang bijak ? Salah satu kejadian yang sedang viral, wali murid menyuruh siswa yang sedang berselisih dengan anaknya ...
Mengenal Strawberry Parents
Istilah strawberry parents diyakini muncul sebagai pola asuh orang tua yang memicu lahirnya generasi strawberry. Istilah generasi strawberry mulanya berasal dari Taiwan yang merujuk pada sebagian generasi baru yang rapuh dan lunak seperti buah strawberry. Generasi stroberi adalah mereka yang kreatif, tapi mudah menyerah dan gampang sakit hati.
Pola asuh ini membuat anak-anak menjadi lemah dan mudah mengalami stres. Anak-anak yang termasuk dalam kategori ini sering kali tidak memiliki ketahanan mental yang kuat, sehingga mereka lebih rentan terhadap tekanan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Pola asuh ini ditandai dengan pemberian berbagai fasilitas yang bahkan terkadang melampaui kebutuhan dasar anak, menciptakan zona nyaman yang justru bisa menjadi bumerang bagi perkembangan karakter mereka. Dalam praktiknya, orang tua dengan gaya pengasuhan ini seringkali menjadikan anak sebagai pusat perhatian dengan memberikan segala yang mereka inginkan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya.
Ciri-ciri Strawberry Parents
Salah satu ciri khas pola asuh 'strawberry parents' adalah minimnya penerapan disiplin dan konsekuensi atas perilaku anak. Anak-anak dibiarkan tumbuh dalam lingkungan yang sangat permisif, di mana aturan-aturan dasar yang seharusnya menjadi panduan dalam pembentukan karakter justru diabaikan. Ketiadaan batasan dan konsekuensi ini, meskipun tampak memberikan kebebasan, sebenarnya dapat menghambat perkembangan kemampuan anak dalam memahami konsep tanggung jawab dan disiplin diri.
Meski pola asuh ini seringkali menghasilkan anak-anak yang memiliki kreativitas tinggi, namun kelemahan mendasar terletak pada ketidakmampuan mereka menghadapi tekanan dan kekecewaan dalam kehidupan. Fenomena ini diperparah dengan kebiasaan orang tua yang selalu memberikan pujian berlebihan dan menggambarkan anak mereka sebagai sosok yang sempurna tanpa cela. Pujian dan gambaran kesempurnaan yang tidak realistis ini menciptakan kesenjangan antara persepsi diri yang dibentuk di rumah dengan realitas yang akan mereka hadapi di dunia luar.
Selain itu, ciri-ciri lain dari pola asuh strawberry parents adalah kebiasaan menggantikan waktu kebersamaan dengan uang atau hadiah. Padahal, tidak ada yang bisa menggantikan waktu yang dihabiskan bersama anak. Menghabiskan waktu bersama anak adalah investasi penting untuk membangun hubungan yang kuat dan memberikan rasa aman. Memberikan uang atau hadiah sebagai pengganti waktu juga dapat mengirimkan pesan yang salah kepada anak.
Anak-anak mungkin tumbuh dengan pemahaman bahwa nilai kasih sayang dan perhatian orang tua bisa diukur dengan materi. Ini bisa membuat mereka menjadi materialistis dan kurang menghargai pentingnya waktu berkualitas bersama keluarga, yang seharusnya menjadi fondasi hubungan yang kuat dan harmonis.
Ciri-ciri yang lainnya adalah terlalu sering membantu anak pada kewajibannya. Padahal perilaku ini sebaiknya tidak diterapkan oleh orangtua. Membantu anak memang bukanlah hal yang buruk, namun apabila terlalu sering dilakukan, hal ini akan menjadi suatu kebiasaan bagi anak. Anak tidak dapat tumbuh mandiri dan banyak bergantung pada orang lain. Sehingga pada kehidupan dewasanya kelak, dia tidak bisa mandiri.
Dampak dari Gaya Asuh Strawberry Parents
Berikut ini terdapat beberapa dampak yang fatal dari gaya asuh strawberry parents, yakni:
1. Pola Asuh yang Berlebihan
Bagi sebagian orang tua, menjadi strawberry parents adalah upaya melindungi anak dengan penuh kelembutan. Namun, pola asuh ini sering kali berujung pada memberikan fasilitas berlebihan dan terlalu memanjakan anak. Anak jarang diberi batasan atau aturan yang jelas, sehingga mereka tumbuh dengan pemahaman bahwa semua tindakan mereka adalah benar.
Meski generasi stroberi memiliki banyak ide kreatif dan hubungan yang dekat dengan orang tua mereka, gaya pengasuhan ini bisa membuat mereka kesulitan dalam mengatasi stres dan tantangan. Ketiadaan aturan dan hukuman membuat mereka kurang siap menghadapi kenyataan hidup yang keras.
2. Kesulitan Beradaptasi
Anak-anak dari strawberry parents sering kali sulit beradaptasi dengan perubahan di sekitarnya. Pola asuh ini, yang penuh dengan kelembutan dan perhatian berlebihan, membuat anak jarang mendapatkan hukuman dan hampir tidak ada aturan yang jelas. Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul Strawberry Generation: Anak-anak Kita Berhak Keluar dari Perangkap yang Bisa Membuat Mereka Rapuh, menyebutkan bahwa anak-anak ini tumbuh dengan ide-ide kreatif, namun mereka mudah menyerah dan gampang sakit hati.
Kebiasaan hidup yang nyaman dan terlindungi membuat anak-anak ini rentan terhadap tekanan dan stres. Mereka kurang terlatih untuk menghadapi tantangan hidup dan cenderung bergantung pada orang lain dalam situasi sulit. Hal ini berdampak negatif pada kemampuan mereka untuk mengatasi masalah dan adaptasi terhadap lingkungan yang berubah.