Lebaran Ketupat Tradisi Mana? Mengenal Perayaan Unik Masyarakat Jawa

3 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta Bagi yang bertanya-tanya lebaran ketupat tradisi mana yang masih dilestarikan hingga saat ini, jawabannya adalah tradisi yang berakar kuat dalam budaya masyarakat Jawa. Perayaan yang jatuh pada hari ke-8 bulan Syawal ini memiliki makna mendalam dan filosofis yang menjadikannya begitu istimewa di kalangan Muslim Jawa.

Saat mencari tahu lebaran ketupat tradisi mana yang paling kental dengan nilai-nilai Islam dan budaya lokal, kita akan menemukan bahwa tradisi ini pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga pada era Walisongo. Menariknya, tradisi ini muncul sebagai bentuk akulturasi antara ajaran Islam dengan budaya Jawa yang sudah ada sebelumnya.

Banyak yang penasaran lebaran ketupat tradisi mana yang paling banyak pengikutnya, dan fakta menunjukkan bahwa tradisi ini tidak hanya populer di Jawa, tetapi juga telah menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Namun, akar terkuat lebaran ketupat tradisi mana masih dapat ditemukan di masyarakat Jawa yang melestarikannya secara turun-temurun dengan berbagai ritual dan kebiasaan unik.

Lebih lengkapnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber informasi lengkapnya, pada Rabu (5/2).

Mendekati Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah, sejumlah pasar tradisional mulai ramai oleh pedagang kulit ketupat. Selain yang sudah jadi, mereka juga menjajakan janur kelapa sebagai bahan pembuat kulit ketupat.

Sejarah dan Asal-Usul Lebaran Ketupat

Sejarah lebaran ketupat tidak bisa dipisahkan dari peran besar Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Pada masa itu, Sunan Kalijaga memperkenalkan dua istilah penting yang masih dikenal hingga saat ini: Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran merupakan tradisi silaturahmi dan saling memaafkan setelah shalat Idul Fitri, sementara Bakda Kupat atau yang kita kenal sebagai Lebaran Ketupat adalah perayaan yang diselenggarakan sepekan setelah Idul Fitri.

Tradisi ini lahir sebagai pelengkap puasa Ramadan dan memiliki kaitan erat dengan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal. Sunan Kalijaga dengan bijak mengintegrasikan ajaran Islam dengan budaya lokal yang sudah mengakar di masyarakat Jawa. Perayaan ini kemudian berkembang menjadi sarana untuk mengenalkan berbagai nilai-nilai Islam seperti rasa syukur kepada Allah SWT, semangat bersedekah, dan pentingnya menjaga silaturahmi.

Budayawan Zastrouw Al-Ngatawi menjelaskan bahwa kemunculan tradisi kupatan pada era Walisongo memanfaatkan tradisi slametan yang sudah ada di masyarakat Nusantara. Hal ini menunjukkan bagaimana para wali dengan cerdas menggunakan pendekatan kultural dalam menyebarkan ajaran Islam, sehingga dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, tradisi ini semakin mengakar dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat Jawa. Perayaan yang awalnya sederhana berkembang menjadi momentum penting yang dinantikan setiap tahunnya, dengan berbagai ritual dan kegiatan yang sarat makna.

Filosofi dan Makna Mendalam Ketupat

Ketupat sebagai simbol utama dalam perayaan ini memiliki filosofi yang sangat dalam. Kata "ketupat" atau "kupat" sendiri berasal dari bahasa Jawa "ngaku lepat" yang berarti mengakui kesalahan. Filosofi ini menjadi dasar penting dalam tradisi yang mengajarkan pentingnya kerendahan hati dan kesediaan untuk mengakui kesalahan serta saling memaafkan.

Setiap bagian dari ketupat memiliki makna simbolis tersendiri. Bungkus ketupat yang terbuat dari janur kuning dipercaya sebagai penolak bala dalam kepercayaan Jawa. Bentuk segiempat ketupat mencerminkan prinsip "kiblat papat lima pancer," sebuah filosofi Jawa yang mengajarkan bahwa kemanapun manusia melangkah, pada akhirnya akan kembali kepada Allah SWT.

Anyaman rumit pada ketupat melambangkan kompleksitas kesalahan manusia, sementara warna putih isi ketupat ketika dibelah melambangkan kesucian dan kebersihan hati setelah memohon ampunan. Bahkan, beras sebagai isi ketupat pun memiliki makna sebagai simbol kemakmuran pasca perayaan hari raya.

Lebih menarik lagi, penyajian ketupat yang biasanya didampingi dengan opor ayam juga memiliki filosofi tersendiri. Santan atau dalam bahasa Jawa disebut "santen" yang menjadi bahan utama opor memiliki makna "pangapunten" atau permohonan maaf. Ini tercermin dalam pantun Jawa yang berbunyi "Mangan kupat nganggo santen, menawi lepat nyuwun pangapunten" (makan ketupat pakai santan, bila ada kesalahan mohon dimaafkan).

Tradisi dan Cara Merayakan Lebaran Ketupat

Perayaan Lebaran Ketupat di masyarakat Jawa memiliki beragam cara yang unik dan penuh makna. Salah satu kegiatan utama yang menjadi ciri khas adalah menganyam ketupat secara bersama-sama. Kegiatan ini biasanya dilakukan sehari sebelum perayaan, di mana anggota keluarga dan tetangga berkumpul untuk membuat ketupat dari daun kelapa muda atau janur.

Pada hari perayaan, masyarakat akan memasak ketupat bersama dengan berbagai hidangan pendamping seperti opor ayam, sambal goreng, dan sayur lodeh. Makanan ini kemudian dibagikan kepada kerabat, tetangga, dan sanak saudara sebagai bentuk sedekah dan memperkuat tali silaturahmi. Tradisi berbagi makanan ini menjadi simbol kebersamaan dan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan.

Lebaran Ketupat juga menjadi momen untuk menggelar berbagai acara hajatan dan reuni. Banyak keluarga yang memanfaatkan momentum ini untuk mengadakan syukuran atau selamatan. Sementara itu, reuni dengan teman-teman lama menjadi kesempatan untuk mempererat persaudaraan dan mengenang masa-masa indah bersama.

Uniknya, di beberapa daerah di Jawa masih melestarikan tradisi menggantung ketupat di atas kusen pintu rumah. Ketupat yang sudah matang ini akan dibiarkan hingga mengering dan dipercaya dapat menjadi penolak bala atau pengusir energi negatif dari rumah. Meski terkesan mistis, tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa memadukan kepercayaan spiritual dengan nilai-nilai Islam.

Perkembangan dan Relevansi di Era Modern

Di era modern, Lebaran Ketupat tetap menjadi tradisi yang relevan dan dinantikan oleh masyarakat Jawa. Perayaan ini tidak hanya menjadi momen spiritual dan kultural, tetapi juga berkembang menjadi daya tarik wisata budaya di berbagai daerah. Beberapa kota bahkan menggelar festival atau acara khusus untuk memperingati Lebaran Ketupat.

Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Lebaran Ketupat seperti kebersamaan, pengakuan kesalahan, dan saling memaafkan menjadi semakin penting di tengah tantangan modernisasi. Tradisi ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga hubungan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan di tengah kehidupan yang semakin individualistis.

Bagi generasi muda, Lebaran Ketupat menjadi sarana untuk belajar dan memahami kearifan lokal warisan leluhur. Melalui perayaan ini, mereka dapat mengenal lebih dalam tentang akulturasi budaya Jawa dan Islam, serta bagaimana kedua unsur tersebut dapat berjalan selaras dalam kehidupan bermasyarakat.

Di tahun 2024, Lebaran Ketupat yang jatuh pada 17 April menunjukkan bahwa tradisi ini masih terus bertahan dan dilestarikan. Meski cara perayaannya mungkin sudah mengalami beberapa penyesuaian dengan perkembangan zaman, esensi dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tetap terjaga, menjadikannya warisan budaya yang patut dilestarikan untuk generasi mendatang.

Lebaran Ketupat merupakan bukti nyata bagaimana tradisi lokal dan ajaran Islam dapat berakulturasi dengan harmonis, menciptakan warisan budaya yang kaya makna. Tradisi ini tidak hanya menjadi identitas kultural masyarakat Jawa, tetapi juga menjadi sarana untuk memperkuat ikatan sosial dan spiritual dalam kehidupan bermasyarakat.

Melalui berbagai ritual dan kegiatan yang dilakukan dalam perayaan Lebaran Ketupat, kita dapat melihat bagaimana leluhur kita dengan bijak menanamkan nilai-nilai luhur seperti kerendahan hati, pengakuan kesalahan, dan pentingnya menjaga silaturahmi. Nilai-nilai ini tetap relevan dan bahkan semakin dibutuhkan di era modern.

Read Entire Article
Photos | Hot Viral |