Apakah La Nina 2025 Bisa Menyebabkan Banjir Besar? Ini Prediksi BMKG dan Dampaknya

6 days ago 9

Liputan6.com, Jakarta Fenomena iklim global kembali menjadi sorotan publik menjelang akhir tahun 2025, terutama saat munculnya pertanyaan apakah La Niña 2025 bisa menyebabkan banjir besar? Isu ini mencuat setelah Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan proyeksi musim hujan 2025 yang menunjukkan adanya kemungkinan La Niña lemah di kawasan Pasifik. Perubahan suhu laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur ini kerap berpengaruh terhadap peningkatan curah hujan di Indonesia.

Berdasarkan analisis meteorologi, La Niña dapat meningkatkan frekuensi hujan intensitas tinggi di sejumlah wilayah barat dan tengah Indonesia. Akibatnya, beberapa daerah rawan terendam air, terutama bila curah hujan tinggi terjadi terus-menerus selama periode panjang. 

Kekhawatiran terhadap apakah La Niña 2025 bisa menyebabkan banjir besar, juga berkaitan erat dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan beriklim tropis. Curah hujan tinggi di musim penghujan dapat menjadi berkah bagi sektor pertanian, namun di sisi lain berpotensi menimbulkan kerugian besar apabila tidak diimbangi sistem tata kelola air yang memadai.

Berikut penjelasan lebih lengkap yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sunber, Rabu (8/10/2025). 

Prediksi BMKG: La Niña 2025 dan Potensi Peningkatan Curah Hujan

Fenomena iklim global seperti La Niña selalu menjadi perhatian utama para ahli meteorologi, terutama ketika mendekati musim hujan di Indonesia. Berdasarkan laporan resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tahun 2025 diperkirakan akan didominasi oleh kondisi ENSO Netral, meskipun beberapa model iklim internasional masih membuka peluang terbentuknya La Niña dalam intensitas ringan menjelang akhir tahun. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat, apakah kemunculan La Niña di 2025 berpotensi memicu banjir besar di berbagai wilayah Tanah Air? 

Berdasarkan pemantauan BMKG, fenomena La Niña terjadi akibat suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur yang menurun lebih rendah dari rata-rata normalnya. Kondisi tersebut menguatkan angin pasat, sehingga mendorong massa air hangat ke arah barat Pasifik, termasuk ke wilayah perairan Indonesia dan Australia bagian utara. Akibatnya, uap air meningkat di kawasan tropis yang kemudian menimbulkan awan hujan lebih tebal dan curah hujan lebih tinggi dari biasanya. 

Selain pengaruh La Niña, faktor lain yang berperan penting terhadap pola curah hujan nasional ialah Indian Ocean Dipole (IOD). Menurut BMKG, IOD pada tahun 2025 berada dalam fase negatif yang kemungkinan bertahan hingga November. Dalam fase tersebut, suhu permukaan laut di bagian barat Samudra Hindia (sekitar pantai timur Afrika) menjadi lebih dingin, sedangkan di bagian timur (dekat Indonesia) menjadi lebih hangat. Perbedaan suhu ini meningkatkan penguapan di sekitar perairan Indonesia dan memperkuat peluang pembentukan awan hujan.

Ketika dua fenomena, yaitu La Niña dan IOD negatif, muncul berdekatan, intensitas hujan dapat meningkat secara signifikan di berbagai wilayah. Meski begitu, para ahli mengingatkan bahwa efek La Niña lemah seperti yang diperkirakan tahun 2025 tidak selalu menimbulkan banjir besar secara langsung, melainkan meningkatkan risiko hujan ekstrem pada skala lokal.

Jika menilik prakiraan musim, sekitar 47,6% zona musim (ZOM) di Indonesia akan memasuki musim hujan pada September hingga November 2025.

  • Wilayah Sumatera bagian barat serta Kalimantan sebagian besar diperkirakan mengalami curah hujan lebih awal dibandingkan daerah lainnya.
  • Hujan akan meluas ke kawasan selatan dan timur Indonesia, termasuk Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara.

Dalam konteks perbandingan historis, sekitar 42,1% wilayah Indonesia akan mengalami datangnya musim hujan lebih cepat dari biasanya. Meski demikian, akumulasi curah hujan pada periode 2025/2026 secara umum diprediksi berada pada kategori normal, tidak terlalu ekstrem baik dari sisi kekeringan maupun kebasahan. Puncak musim hujan diproyeksikan terjadi antara November hingga Desember 2025 di Indonesia bagian barat, dan Januari hingga Februari 2026 di bagian selatan serta timur.

Dampak La Nina untuk Musim Hujan 2025-2026?

Berdasarkan hasil analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), terdapat potensi munculnya La Niña pada penghujung tahun 2025, meskipun intensitasnya diperkirakan bersifat lemah hingga moderat. Kondisi ini diharapkan tidak menimbulkan gangguan ekstrem, namun tetap memiliki pengaruh nyata terhadap dinamika atmosfer dan pola hujan di berbagai wilayah. Berikut beberapa dampaknya: 

1. Peningkatan Curah Hujan Secara Signifikan

Salah satu dampak paling menonjol dari kemunculan La Niña ialah meningkatnya curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di kawasan barat seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan sebagian Sulawesi. Jika fenomena ini benar-benar berkembang pada akhir tahun 2025, maka musim hujan 2025/2026 berpotensi lebih basah dibandingkan kondisi normalnya.

Peningkatan curah hujan dapat terjadi akibat naiknya suplai uap air di atmosfer tropis serta meningkatnya frekuensi pembentukan awan konvektif. Wilayah dengan topografi datar berisiko mengalami genangan air dalam durasi panjang, sedangkan daerah pegunungan rawan mengalami longsor akibat kejenuhan tanah. Oleh sebab itu, masyarakat di kawasan rawan banjir diimbau untuk melakukan langkah antisipatif sejak dini, seperti memperbaiki sistem drainase dan menjaga kebersihan saluran air agar tetap berfungsi optimal selama puncak musim hujan.

2. Awal Musim Hujan Datang Lebih Awal dari Biasanya

Selain meningkatkan curah hujan, La Niña juga memengaruhi waktu datangnya musim basah. BMKG memproyeksikan sebagian besar zona musim (ZOM) di Indonesia akan mulai mengalami hujan lebih awal dari biasanya. Dalam konteks tahun 2025, pembentukan awan hujan diperkirakan terjadi lebih cepat di wilayah-wilayah yang memiliki kelembapan udara tinggi, terutama di bagian barat Indonesia.

Proses pemanasan laut yang relatif stabil di sekitar perairan Indonesia turut memperkuat pembentukan awan hujan, sehingga awal musim hujan di beberapa daerah mungkin dimulai sejak September, lebih cepat dari rata-rata klimatologis. Kondisi ini tentu menguntungkan bagi sektor pertanian yang mengandalkan air hujan, tetapi perlu diimbangi manajemen irigasi agar tidak terjadi kelebihan air yang justru mengganggu proses tanam.

3. Durasi Musim Hujan Cenderung Lebih Panjang

Dampak lain yang mungkin muncul akibat La Niña adalah memanjangnya periode musim hujan. Periode basah yang berkepanjangan dapat membuat curah hujan bulanan tetap tinggi hingga memasuki awal tahun 2026. Pola cuaca semacam ini sering kali menimbulkan gangguan terhadap aktivitas masyarakat, terutama pada sektor transportasi darat dan laut. Infrastruktur jalan rentan rusak akibat erosi air, sementara cuaca ekstrem dapat mengganggu jadwal penerbangan dan pelayaran.

Selain itu, kondisi tanah yang terlalu lembap dalam waktu lama dapat memicu kerusakan pada tanaman tertentu, terutama komoditas yang tidak tahan terhadap genangan air. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan petani diharapkan melakukan adaptasi terhadap pola tanam agar tidak mengalami kerugian selama musim hujan berkepanjangan.

4. Risiko Bencana Hidrometeorologi Meningkat

La Niña sering dikaitkan dengan bertambahnya potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang, tanah longsor, dan angin kencang. Ketika curah hujan tinggi terjadi dalam waktu lama, tanah menjadi jenuh air sehingga mudah longsor di wilayah berbukit, sementara daerah dataran rendah menghadapi risiko banjir meluas. BMKG telah mengingatkan bahwa tahun 2025–2026 merupakan periode yang perlu diwaspadai terutama bagi wilayah dengan drainase buruk atau berada di dekat aliran sungai besar.

Untuk mengurangi dampaknya, upaya mitigasi seperti pemetaan kawasan rawan, pembangunan tanggul pengendali air, dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap potensi bahaya perlu diperkuat. Kesiapsiagaan terhadap kondisi cuaca ekstrem menjadi kunci agar potensi kerugian akibat fenomena La Niña dapat diminimalkan.

Apa Perbedaan La Nina dan El Nino?

Dalam sistem iklim global, terdapat dua fenomena utama yang memiliki pengaruh besar terhadap pola cuaca di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, yakni El Niño dan La Niña. Keduanya merupakan bagian dari siklus alami yang disebut El Niño–Southern Oscillation (ENSO), sebuah mekanisme iklim kompleks yang terbentuk akibat interaksi antara atmosfer dan lautan di kawasan Samudra Pasifik bagian tengah dan timur. Pergantian antara fase El Niño dan La Niña tidak hanya berdampak pada suhu udara, tetapi juga menentukan tingkat curah hujan, pola angin, serta kestabilan ekosistem laut di kawasan tropis dan subtropis. Dalam konteks Indonesia, perubahan kecil pada suhu laut di wilayah Pasifik dapat membawa konsekuensi besar terhadap kondisi pertanian, perikanan, hingga ketersediaan pangan nasional.

  • El Niño

El Nino secara sederhana, menggambarkan kondisi ketika suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature/SST) di Samudra Pasifik bagian tengah mengalami peningkatan signifikan di atas rata-rata normal. Proses pemanasan ini mengubah pola sirkulasi udara global, termasuk pergerakan angin pasat yang biasanya bertiup dari timur ke barat. Ketika angin pasat melemah, massa air hangat di Pasifik bagian barat terdorong ke timur, menghambat pembentukan awan hujan di wilayah Asia Tenggara dan Australia.

Akibatnya, wilayah seperti Indonesia sering mengalami penurunan curah hujan secara drastis. Musim kering menjadi lebih panjang, sungai-sungai menyusut, dan lahan pertanian berisiko mengalami gagal panen akibat kekurangan air. Dampak El Niño juga terasa pada sektor energi, sebab debit air di waduk menurun dan mengurangi kapasitas pembangkit listrik tenaga air. Dalam skala yang lebih luas, El Niño dapat memperburuk kebakaran hutan, menurunkan kualitas udara, serta mengganggu rantai pasok pangan nasional.

  • La Nina

Sementara itu, La Niña merupakan kebalikan dari El Niño. Fenomena ini terjadi ketika suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah menurun di bawah nilai rata-rata. Pendinginan tersebut memperkuat angin pasat, sehingga mendorong massa air hangat menuju wilayah barat Pasifik, termasuk perairan sekitar Indonesia dan Australia utara. Akibatnya, proses penguapan meningkat secara signifikan, membentuk awan konvektif tebal yang membawa curah hujan lebat di kawasan tropis.

La Niña cenderung menciptakan musim hujan lebih panjang, disertai peningkatan frekuensi badai dan risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir serta tanah longsor. Dalam sektor pertanian, La Niña dapat menjadi berkah bagi tanaman padi karena ketersediaan air melimpah, tetapi pada saat bersamaan dapat menyebabkan kerugian besar bila intensitas hujan berlebihan. BMKG mencatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, La Niña turut menyebabkan lonjakan curah hujan ekstrem di sebagian besar wilayah Indonesia bagian barat, terutama pada periode akhir tahun.

FAQ Seputar Topik

1. Apa hubungan antara La Niña 2025 dan potensi banjir di Indonesia?

La Niña memiliki pengaruh besar terhadap peningkatan curah hujan di wilayah tropis seperti Indonesia. Ketika suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah menurun, uap air di sekitar Nusantara meningkat sehingga hujan turun lebih sering dan lebih deras. Kondisi ini dapat memicu potensi banjir, terutama di daerah dataran rendah, sungai besar, serta kota dengan sistem drainase belum optimal.

2. Mengapa masyarakat khawatir jika La Niña muncul pada akhir 2025?

Kekhawatiran muncul sebab fenomena ini kerap membawa hujan lebat berkepanjangan. Bila infrastruktur penanganan air belum siap, air hujan akan sulit terserap tanah, sehingga genangan cepat terbentuk. Pengalaman dari tahun-tahun sebelumnya menunjukkan, La Niña sering kali memicu bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan tanah longsor di beberapa daerah.

3. Apakah semua wilayah Indonesia akan terdampak La Niña 2025 secara merata?

Tidak seluruhnya. Efek La Niña cenderung lebih kuat di bagian barat dan tengah Indonesia, seperti Sumatera, Kalimantan, serta Jawa bagian barat. Wilayah timur, misalnya Nusa Tenggara dan Maluku, umumnya menerima dampak lebih kecil. Meskipun demikian, perbedaan topografi dan kondisi cuaca lokal juga dapat memengaruhi tingkat risiko di setiap daerah.

4. Bagaimana cara BMKG memantau potensi La Niña dan prediksi curah hujan 2025?

BMKG memantau suhu permukaan laut di Samudra Pasifik dan perubahan arah angin pasat menggunakan data satelit serta model iklim global. Setiap bulan dilakukan pembaruan analisis untuk menentukan intensitas serta potensi dampaknya. Informasi tersebut kemudian disampaikan ke publik melalui laporan iklim dan peringatan dini agar masyarakat dapat lebih waspada.

5. Jika La Niña benar-benar terjadi, apa langkah antisipasi paling efektif?

Langkah terbaik meliputi pembersihan saluran air, peninggian tanggul di wilayah rawan, dan memastikan sistem drainase berfungsi baik. Pemerintah daerah juga disarankan membuat pos siaga banjir dan menyusun rencana evakuasi. Di sisi lain, masyarakat bisa mulai menyiapkan perlengkapan darurat, menjaga kebersihan lingkungan, serta memantau prakiraan cuaca secara rutin.

Read Entire Article
Photos | Hot Viral |