Apa Itu Cancel Culture? Fenomena Sosial yang Semakin Marak di Era Digital

3 hours ago 1

Liputan6.com, Jakarta Film remake A Business Proposal versi Indonesia sepi penonton. Penyebabnya diduga karena kontroversi yang melibatkan pemeran utama, Abidzar Al-Ghifari.

Dalam promosi film, Abidzar mengaku hanya menonton satu episode dari versi asli drama Korea tersebut dan mengatakan bahwa ia tidak membutuhkan penggemar K-Drama untuk menonton filmnya. Pernyataan ini memicu kemarahan publik, yang akhirnya menyerukan cancel culture, yaitu boikot terhadap film tersebut.

Kasus ini hanya satu dari sekian banyak contoh cancel culture yang marak terjadi, terutama di era media sosial. Fenomena ini sering digunakan sebagai bentuk hukuman sosial, tetapi juga menuai perdebatan karena dampaknya bisa sangat luas.

Lantas, apa sebenarnya cancel culture? Apakah ini bentuk keadilan sosial, atau justru berbahaya? Dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber pada Sabtu (8/2/2025), berikut penjelasan lengkapnya.

Apa Itu Cancel Culture?

Secara sederhana, cancel culture adalah bentuk penolakan sosial modern. Berbeda dengan boikot tradisional, cancel culture memanfaatkan kekuatan media sosial untuk mengamplifikasi suara ketidaksetujuan. Definisi dari berbagai sumber pun beragam; ada yang mendefinisikannya sebagai bentuk ostrakisme modern, tekanan sosial untuk menunjukkan ketidaksetujuan, atau bahkan sebagai ekspresi hak pilihan untuk menarik dukungan dari seseorang atau sesuatu yang dianggap ofensif.

Merriam-Webster mendefinisikannya sebagai "praktik atau kecenderungan melakukan pembatalan massal untuk menunjukkan ketidaksetujuan dan memberikan tekanan sosial", sementara Cambridge Dictionary menyebutnya sebagai "cara berperilaku di mana orang menolak atau berhenti mendukung seseorang karena suatu alasan".

Cancel culture sering terjadi di media sosial, di mana warganet dengan cepat menyebarkan informasi dan mendesak masyarakat untuk menghentikan dukungan terhadap individu atau organisasi tertentu.

Beberapa ciri khas cancel culture meliputi:

  • Seruan untuk memboikot seseorang atau produk tertentu.
  • Pencabutan dukungan dari publik, sponsor, atau perusahaan.
  • Tekanan sosial agar individu yang diboikot meminta maaf atau menghadapi konsekuensi.

Cancel culture dapat terjadi pada siapa saja, mulai dari selebriti, politisi, perusahaan, hingga orang biasa yang viral karena tindakan atau ucapan kontroversial mereka.

Sejarah dan Perkembangan Cancel Culture

Fenomena cancel culture sebenarnya bukan hal baru. Konsep ini telah ada sejak lama dalam bentuk boikot sosial, tetapi berkembang pesat di era media sosial.

Awal Mula Cancel Culture

Cancel culture mulai muncul di blog Tumblr pada tahun 2010, terutama melalui diskusi fandom di blog "Your Fave Is Problematic". Blog ini membahas alasan mengapa idola atau tokoh publik dianggap bermasalah dan layak untuk diboikot.

Seiring waktu, cancel culture meluas ke Twitter (X), Instagram, YouTube, dan TikTok, di mana seruan boikot terhadap tokoh terkenal menjadi semakin mudah dilakukan.

Perkembangan di Era Digital

Pada tahun 2018, istilah cancel culture semakin populer, terutama setelah sejumlah selebriti seperti Taylor Swift dan Kanye West mengalami kampanye boikot besar-besaran.

Bahkan mantan Presiden AS, Barack Obama, pernah mengkritik cancel culture dalam sebuah wawancara. Ia menyatakan bahwa budaya ini tidak selalu menghasilkan perubahan yang berarti, tetapi justru lebih sering digunakan untuk menjatuhkan seseorang tanpa memberi kesempatan untuk belajar dari kesalahannya.

Di Indonesia, cancel culture juga mulai diterapkan, meskipun sebelumnya lebih banyak orang yang "dimaklumi" atas kesalahan mereka. Namun, dengan meningkatnya kesadaran sosial dan kekuatan media sosial, banyak kasus di mana figur publik harus menghadapi dampak besar akibat cancel culture.

Dampak Cancel Culture bagi Individu dan Masyarakat

Cancel culture sering dianggap sebagai alat untuk menuntut pertanggungjawaban seseorang atas perbuatannya. Namun, fenomena ini juga menimbulkan dampak yang cukup besar, baik bagi korban, pelaku, maupun masyarakat secara umum.

Dampak bagi Korban (Orang yang Dicancel)

  • Tekanan psikologis yang berat – Banyak individu yang menjadi korban cancel culture mengalami kecemasan, depresi, hingga kehilangan pekerjaan.
  • Stigma sosial – Orang yang terkena cancel culture sering kali sulit mendapatkan kepercayaan kembali di masyarakat.
  • Hilangnya kesempatan memperbaiki diri – Dalam banyak kasus, individu yang diboikot tidak diberi kesempatan untuk belajar dan berubah.

Dampak bagi Pelaku (Orang yang Melakukan Cancel Culture)

  • Rasa frustrasi dan kemarahan yang berkelanjutan – Jika cancel culture tidak berhasil memberikan efek jera, pelaku justru bisa semakin emosional dan agresif.
  • Menurunnya empati – Orang yang sering terlibat dalam cancel culture bisa menjadi kurang toleran terhadap kesalahan orang lain.
  • Efek bumerang – Tidak jarang orang yang ikut serta dalam cancel culture justru balik dikritik karena dianggap terlalu berlebihan atau tidak objektif.

Dampak bagi Masyarakat dan Media Sosial

  • Menurunnya kebebasan berekspresi – Banyak orang menjadi takut untuk mengutarakan pendapat karena takut diboikot.
  • Polarisasi masyarakat – Cancel culture sering memicu perpecahan antara kelompok yang mendukung dan menentang suatu isu.
  • Penyebaran informasi yang belum tentu benar – Banyak kasus cancel culture didasarkan pada informasi yang belum diverifikasi, sehingga berpotensi menyebabkan fitnah.

Apakah Cancel Culture Selalu Buruk?

Meskipun memiliki banyak dampak negatif, cancel culture juga bisa membawa perubahan positif jika dilakukan dengan cara yang benar.

Cancel Culture Bisa Bermanfaat Jika:

  • Digunakan untuk menentang tindakan diskriminasi, rasisme, pelecehan seksual, atau kejahatan lainnya.
  • Memaksa individu atau perusahaan untuk bertanggung jawab atas kesalahan mereka.
  • Mendorong perubahan sosial yang lebih baik dalam masyarakat.

Namun, Cancel Culture Bisa Berbahaya Jika:

  • Digunakan hanya untuk menyerang seseorang tanpa memberi kesempatan mereka memperbaiki diri.
  • Berdasarkan informasi yang belum jelas atau hoaks.
  • Berubah menjadi cyberbullying yang merusak kesehatan mental seseorang.

Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa cancel culture bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Pendekatan edukatif dan dialog terbuka bisa menjadi solusi yang lebih efektif dibandingkan sekadar "mencancel" seseorang.

Bagaimana Menyikapi Cancel Culture Secara Bijak?

Jika Anda ingin menyikapi cancel culture dengan lebih sehat, berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:

  • Periksa kebenaran informasi sebelum ikut serta dalam cancel culture.
  • Berikan kesempatan bagi seseorang untuk meminta maaf dan memperbaiki diri.
  • Hindari ujaran kebencian atau cyberbullying saat menyuarakan pendapat.
  • Fokus pada perubahan yang lebih besar, bukan sekadar menjatuhkan individu.

Cancel culture bisa menjadi alat yang baik jika digunakan dengan bijak. Namun, jika hanya menjadi ajang perundungan massal, justru dampaknya bisa lebih merusak daripada memperbaiki keadaan.

People Also Ask

Apa tujuan utama dari cancel culture?

Cancel culture bertujuan untuk meminta pertanggungjawaban seseorang atas tindakan yang dianggap tidak pantas, tetapi sering kali berkembang menjadi hukuman sosial yang lebih luas.

Apakah cancel culture selalu berdampak buruk?

Tidak selalu. Dalam beberapa kasus, cancel culture dapat mendorong perubahan sosial yang positif, tetapi jika dilakukan tanpa keadilan, bisa berubah menjadi perundungan digital.

Bagaimana cara menghindari terkena cancel culture?

Berhati-hatilah dalam berbicara dan bertindak di ruang publik, terutama di media sosial. Pastikan untuk selalu bersikap bijak dan bertanggung jawab atas apa yang Anda sampaikan.

Read Entire Article
Photos | Hot Viral |