100 Tahun Pramoedya Ananta Toer, Ini 5 Buku dengan Harga Fantastis yang Dijual di E-Commerce

2 hours ago 1

Liputan6.com, Jakarta Februari 2025 menandai 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia yang telah menghasilkan lebih dari 50 karya monumental. Dikenal sebagai penulis yang kritis terhadap kondisi sosial, karya-karya Pram sempat dilarang beredar selama era Orde Baru.

Pelarangan dan pemusnahan buku-buku Pram justru menciptakan fenomena unik di pasar literasi Indonesia. Beberapa edisi pertama karyanya kini menjadi buruan kolektor dengan harga yang mencengangkan. Status "buku terlarang" selama puluhan tahun telah mengubah karya-karya ini menjadi artefak sejarah yang sangat berharga.

Memasuki 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, mari kita telusuri buku-buku langka karyanya yang kini diperdagangkan dengan harga fantastis. Beberapa di antaranya bahkan mencapai ratusan juta rupiah! Apa saja buku-buku itu, simak pembahasan selengkapnya berikut ini sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (6/2/2025).

Film adaptasi novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer kini dapat dinikmati di bioskop. Padahal, di era Orde Baru, seseorang bisa dipenjara cuma karena membaca novel Bumi Manusia.

Mereka Yang Dilumpuhkan - Rp100.000.000

Di antara semua karya langka Pramoedya Ananta Toer, "Mereka Yang Dilumpuhkan" memegang rekor sebagai buku dengan harga tertinggi. Terbit di masa-masa awal kepenulisan Pram, novel ini menjadi salah satu karya yang paling dicari oleh kolektor buku langka Indonesia.

Novel ini menghadirkan semacam film dokumentasi tentang kehidupan para tahanan di penjara kolonial. Melalui tulisannya, Pram menggambarkan nasib anak-anak Indonesia yang dipenjarakan Belanda karena dianggap mengancam stabilitas politik. Tidak hanya itu, novel ini juga menyoroti kisah tentara-tentara Belanda yang memilih hukuman penjara karena menolak perintah atasan atau merasa tertipu oleh pemerintah kolonial.

Diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1951 sebagai cetakan pertama, novel ini hadir saat Indonesia masih dalam masa transisi kemerdekaan. Periode ini menjadikan "Mereka Yang Dilumpuhkan" sebagai dokumen sejarah yang sangat berharga, menggambarkan situasi sosial-politik saat bangsa ini baru bebas dari kolonialisme.

Kelangkaan buku ini terutama disebabkan oleh pelarangan dan pemusnahan massal karya-karya Pram di era Orde Baru. Dari ribuan eksemplar yang dicetak, hanya segelintir yang berhasil selamat dan tersimpan dengan baik. Kondisi buku yang masih sangat baik setelah lebih dari 70 tahun menjadi faktor utama yang mendongkrak harganya mencapai Rp100 juta.

Yang membuat buku ini istimewa adalah dedikasi Pram dalam tulisan pembukanya yang menyatakan "untuk siapa saja yang boleh kusebut adikku". Kalimat ini mencerminkan hubungan personal yang ingin dibangun Pram dengan pembacanya, sekaligus menunjukkan kepekaannya terhadap isu-isu kemanusiaan yang dia angkat dalam novel ini.

Dengan harga Rp100 juta, "Mereka Yang Dilumpuhkan" bukan sekadar buku koleksi, tetapi juga menjadi artefak sejarah yang membuktikan perjalanan panjang Indonesia menuju kemerdekaan yang sesungguhnya. Melalui karya ini, Pram tidak hanya meninggalkan warisan sastra, tetapi juga catatan sejarah yang tak ternilai harganya bagi generasi mendatang.

Arus Balik - Rp39.600.000

Di deretan buku-buku mahal karya Pramoedya Ananta Toer, "Arus Balik" menempati posisi kedua dengan harga Rp39.600.000. Novel yang ditulis dengan latar belakang awal abad ke-16 ini menjadi saksi kejeniusan Pram dalam mengemas sejarah maritim Nusantara ke dalam bentuk prosa yang memukau.

Novel ini mengisahkan tentang peralihan kekuasaan di Nusantara melalui tokoh Wiranggaleng, seorang pemuda desa yang menjadi saksi kejatuhan Majapahit dan kedatangan Portugis. Pram dengan cermat menggambarkan bagaimana arus kekuasaan yang semula bergerak dari selatan ke utara, perlahan berbalik arah. Perubahan ini membawa dampak besar pada kehidupan masyarakat Nusantara, termasuk pergeseran dominasi maritim yang selama ini dipegang oleh kerajaan-kerajaan lokal.

Karya ini merupakan hasil riset mendalam Pram tentang sejarah maritim Nusantara yang dia kerjakan sebelum penahanannya pada tahun 1965. Buku ini menjadi bagian dari proyek ambisius Pram untuk mendokumentasikan sejarah Indonesia dari perspektif pribumi, bukan dari kacamata kolonial seperti yang selama ini banyak ditulis.

Edisi hardcover yang kini dijual dengan harga Rp39.600.000 ini menjadi sangat berharga karena beberapa faktor. Pertama, buku ini merupakan salah satu dari sedikit eksemplar yang selamat dari pelarangan di era Orde Baru. Kedua, isinya yang memuat studi sejarah alternatif tentang Nusantara menjadikannya referensi penting bagi peneliti dan sejarawan. Ketiga, kondisinya yang masih terjaga dengan baik menambah nilai koleksinya.

Keistimewaan "Arus Balik" juga terletak pada cara Pram menganyam fakta sejarah dengan narasi fiksi yang memikat. Melalui tokoh Wiranggaleng, pembaca diajak menyaksikan langsung bagaimana perubahan politik dan ekonomi di Nusantara berdampak pada kehidupan masyarakat biasa. Perspektif "dari bawah" ini menjadi ciri khas tulisan Pram yang jarang ditemukan dalam karya sejarah lainnya.

Dengan nilai jual hampir Rp40 juta, "Arus Balik" bukan sekadar novel sejarah, tetapi juga menjadi bukti nyata bagaimana karya sastra bisa menjadi jendela untuk memahami masa lalu bangsa. Melalui buku ini, Pram telah mewariskan tidak hanya kisah epik tentang kejayaan maritim Nusantara, tetapi juga perspektif baru dalam memandang sejarah Indonesia.

Bumi Manusia - Rp36.000.000

Sebagai bagian pertama dari Tetralogi Buru yang legendaris, "Bumi Manusia" menjadi salah satu masterpiece Pramoedya Ananta Toer yang paling dicari kolektor. Dengan harga mencapai Rp36 juta untuk edisi hardcover cetakan ketiga tahun 1980, buku ini menyimpan nilai historis yang tak ternilai dalam perkembangan sastra Indonesia.

Novel ini mengisahkan perjuangan Minke, seorang pemuda pribumi yang belajar di sekolah Belanda HBS (Hogere Burgerschool), dalam melawan diskriminasi di masa kolonial. Kisah Minke berkelindan dengan romansa bersama Annelies, putri Herman Mellema dengan Nyai Ontosoroh. Melalui tokoh-tokohnya, Pram dengan brilian menggambarkan pertentangan antara modernitas dan tradisi, serta kritik tajam terhadap sistem feodal dan kolonial yang mencengkeram masyarakat Indonesia awal abad ke-20.

Diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980, edisi hardcover setebal 353 halaman ini memiliki nilai istimewa karena kondisinya yang masih sangat baik. Meski terdapat beberapa bercak waktu, buku ini tidak memiliki coretan nama atau tanda tangan, serta bebas dari cap stempel yang biasanya mengurangi nilai koleksi. Kelangkaannya bertambah karena merupakan cetakan yang terbit sebelum pelarangan total karya-karya Pram di era Orde Baru.

Yang membuat buku ini semakin berharga adalah fakta bahwa "Bumi Manusia" ditulis Pram selama masa tahanannya di Pulau Buru tanpa akses ke sumber referensi apapun. Setiap malam, Pram menceritakan kisah ini kepada sesama tahanan politik, yang kemudian membantunya mengingat detail cerita ketika akhirnya dia diizinkan menulis. Proses kreatif yang unik ini menambah dimensi historis pada nilai buku tersebut.

"Bumi Manusia" bukan sekadar novel tentang perjuangan melawan kolonialisme. Buku ini adalah potret tajam tentang kebangkitan kesadaran pribumi akan harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Melalui karakter Minke dan Nyai Ontosoroh, Pram menggambarkan pergulatan intelektual dan moral yang masih relevan hingga saat ini.

Harga Rp36 juta untuk sebuah novel mungkin terdengar fantastis, tetapi nilai historis dan kultural yang terkandung dalam "Bumi Manusia" jauh melampaui angka tersebut. Buku ini tidak hanya menjadi saksi perjalanan sastra Indonesia, tetapi juga menjadi monumen perjuangan seorang penulis yang tetap berkarya meski dalam kondisi terbatas. Di tahun 100 kelahiran Pramoedya Ananta Toer, "Bumi Manusia" tetap menjadi bukti nyata bahwa kata-kata bisa bertahan lebih lama dari penjara yang mengungkungnya.

Di Tepi Kali Bekasi - Rp30.000.000

Di antara karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, "Di Tepi Kali Bekasi" memiliki tempat istimewa. Novel yang kini dihargai Rp30 juta untuk cetakan ketiganya ini menjadi saksi sejarah bagaimana Pram menangkap semangat revolusi melalui kacamata sastra.

Novel ini mengangkat kisah heroik perjuangan rakyat Bekasi pada masa revolusi tahun 1945 melalui tokoh utama bernama Farid. Dengan latar belakang pertempuran melawan tentara Inggris dan Belanda, Pram menggambarkan bagaimana para pemuda rela meninggalkan kenyamanan hidup dan keluarga mereka demi membela tanah air. Menariknya, Pram tidak hanya fokus pada aspek heroisme, tetapi juga menyelami kompleksitas hubungan personal para pejuang dengan keluarga mereka.

Diterbitkan oleh Jajasan Kebudajaan Sadar dan kemudian dicetak ulang oleh Indonesia Raja pada tahun 1962, buku setebal 224 halaman ini menjadi salah satu dokumentasi penting tentang perjuangan kemerdekaan dari sudut pandang pelaku sejarah. Cetakan ketiga yang kini diperdagangkan memiliki kondisi yang digambarkan "sehat walafiat, segar bugar, mulus" - sebuah keajaiban mengingat usianya yang lebih dari 60 tahun.

Keistimewaan novel ini terletak pada kemampuan Pram menghadirkan realisme perang tanpa kehilangan sentuhan kemanusiaan. Berbeda dengan karya-karya sejarah perjuangan lainnya yang sering terjebak dalam romantisme heroisme, "Di Tepi Kali Bekasi" justru menggali lebih dalam tentang pengorbanan personal dan dilema moral yang dihadapi para pejuang. Cinta bukan lagi menjadi fokus utama, melainkan hanya bagian dari kompleksitas perjuangan kemerdekaan.

Nilai historis buku ini semakin bertambah karena merupakan salah satu karya Pram yang ditulis berdasarkan pengalaman langsungnya sebagai bagian dari kelompok militer di Jawa pada masa revolusi. Perspektif sebagai saksi mata inilah yang membuat "Di Tepi Kali Bekasi" berbeda dari novel-novel perjuangan lainnya.

Harga Rp30 juta untuk sebuah buku mungkin terdengar fantastis, namun "Di Tepi Kali Bekasi" menawarkan lebih dari sekadar cerita fiksi. Ini adalah artefak sejarah yang menangkap spirit perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui mata seorang sastrawan yang juga pelaku sejarah. Di tahun 100 kelahiran Pramoedya Ananta Toer, novel ini menjadi pengingat bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya tentang pertempuran fisik, tetapi juga tentang pengorbanan personal yang seringkali terlupakan dalam catatan sejarah resmi.

Dia Yang Menyerah - Rp20.000.000

Di urutan terakhir daftar buku termahal karya Pramoedya Ananta Toer, "Dia Yang Menyerah" mungkin memiliki harga terendah, namun nilai historisnya tidak kalah penting. Novel yang diterbitkan pada tahun 1950 ini menjadi saksi awal perjalanan Pram sebagai penulis yang kemudian namanya mendunia.

Novel tipis yang diterbitkan oleh N.V. Pustaka Rakjat ini mengisahkan perjuangan seorang wanita bernama Rani dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Melalui karakter Rani, Pram menunjukkan kepekaannya dalam menggambarkan kompleksitas jiwa perempuan yang berjuang melawan kelelahan dan kecemasan. Meski tokoh utamanya merasa terisolasi dan putus asa, dia tetap memiliki tekad untuk bangkit dan mencari cahaya di tengah kegelapan.

Terbit di masa-masa awal Indonesia merdeka, "Dia Yang Menyerah" hadir ketika Pram masih mencari bentuk kepenulisannya. Namun bahkan di karya awalnya ini, sudah terlihat ciri khas Pram dalam mengangkat isu-isu sosial dan kemanusiaan. Novel ini menjadi bukti bagaimana sejak awal Pram memiliki kepekaan khusus dalam menggambarkan perjuangan kaum marginal.

Yang membuat buku ini bernilai Rp20 juta adalah kelangkaannya dan kondisinya yang masih baik setelah lebih dari 70 tahun. Sebagai karya yang terbit pada tahun 1950, "Dia Yang Menyerah" menjadi salah satu dari sedikit buku yang bertahan dari berbagai pergolakan politik yang menimpa karya-karya Pram. Kondisinya yang masih baik menjadikannya incaran para kolektor yang ingin melengkapi koleksi karya-karya awal Pram.

Keistimewaan lain dari buku ini adalah bagaimana Pram menggunakan sudut pandang perempuan sebagai protagonis di era dimana suara perempuan jarang mendapat tempat dalam karya sastra Indonesia. Melalui tokoh Rani, Pram mendobrak paradigma penulisan yang umumnya didominasi sudut pandang laki-laki pada masa itu.

Dengan harga Rp20 juta, "Dia Yang Menyerah" menjadi bukti bahwa nilai sebuah buku tidak hanya ditentukan oleh ketebalan atau popularitasnya. Novel ini adalah jejak awal perjalanan seorang maestro sastra Indonesia yang kemudian karyanya dikenal hingga mancanegara. Di tahun 100 kelahiran Pramoedya Ananta Toer, buku ini menjadi pengingat bagaimana seorang penulis besar memulai kariernya dengan kepekaan terhadap isu-isu sosial dan kemanusiaan yang masih relevan hingga saat ini.

Read Entire Article
Photos | Hot Viral |