Liputan6.com, Jakarta Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman budaya, dengan berbagai suku bangsa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Salah satu bentuk kekayaan budaya tersebut tercermin melalui rumah adat, yang tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga simbol dari tradisi, sejarah, dan kondisi geografis masing-masing daerah. 10 nama rumah adat menjadi salah satu pengetahuan umum yang menarik untuk dikuasai.
Setiap rumah adat memiliki keunikannya tersendiri, disesuaikan dengan lingkungan alam dan budaya lokal yang berkembang selama berabad-abad. Dari Aceh hingga Papua, rumah-rumah adat ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai identitas budaya yang diwariskan turun-temurun.
Berikut ini adalah 10 nama rumah adat yang paling populer di Indonesia, yang menunjukkan betapa beragam dan kayanya budaya negeri ini. Dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Senin (21/10/2024).
Ini adalah sebuah perkampungan rumah adat dusun Dasan Bleq, yang terletak di Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara
1. Rumah Adat Krong Bade (Aceh)
Krong Bade adalah rumah adat yang berasal dari Aceh, Indonesia. Rumah ini dikenal karena arsitekturnya yang khas dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Salah satu ciri mencolok dari rumah ini adalah jumlah anak tangganya yang ganjil, biasanya antara tujuh hingga sembilan. Bentuknya memanjang dari timur ke barat, menyerupai persegi panjang, menciptakan kesan yang harmonis dengan lingkungan sekitar.
Salah satu keunikan Rumah Adat Krong Bade terletak pada bahan dasar bangunannya yang sepenuhnya berasal dari alam. Dalam proses pembuatannya, rumah ini tidak menggunakan paku; sebaliknya, setiap bagian disambungkan menggunakan tali, yang menunjukkan keterampilan dan kreativitas masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Dindingnya terbuat dari kayu enau yang memiliki ketahanan terhadap cuaca. Kayu ini juga dihiasi dengan lukisan yang mencerminkan kearifan lokal dan simbol-simbol budaya Aceh. Sedangkan, atapnya menggunakan daun rumbia yang memberikan kesan tradisional dan memberikan perlindungan yang baik terhadap hujan.
Salah satu ciri khas yang menarik perhatian adalah desain pintu yang dibuat lebih rendah daripada ukuran rata-rata. Terdapat balok di bagian atas pintu yang mengharuskan tamu untuk merunduk saat masuk ke dalam rumah. Hal ini bukan hanya sekadar desain, tetapi juga memiliki makna yang dalam. Masyarakat setempat meyakini bahwa bentuk pintu ini merupakan bentuk penghormatan kepada tuan rumah. Dengan cara ini, tamu menunjukkan rasa hormat dan menghargai pemilik rumah sebelum masuk ke dalam ruang privasi mereka.
Rumah Adat Krong Bade mencerminkan nilai-nilai budaya dan sosial masyarakat Aceh. Penggunaan bahan alami, desain yang menghormati tamu, dan detail-detail artistik pada dinding rumah mencerminkan kearifan lokal yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Keberadaan rumah ini menunjukkan pentingnya tradisi, hubungan sosial, dan penghormatan dalam budaya Aceh.
2. Rumah Gadang (Minangkabau)
Rumah Gadang adalah rumah adat dari suku Minangkabau yang terletak di Sumatera Barat. Rumah ini terkenal dengan desain arsitekturnya yang megah dan unik, serta atapnya yang melengkung menyerupai tanduk kerbau, yang dikenal sebagai gonjong. Keberadaan atap ini tidak hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga melambangkan kekuatan dan keberanian masyarakat Minangkabau.
Rumah Gadang dibangun tanpa menggunakan paku, melainkan menggunakan pasak kayu, yang membuatnya lebih fleksibel dan mampu beradaptasi dengan kondisi alam, seperti gempa bumi. Saat terjadi guncangan, rumah ini akan berayun mengikuti ritme guncangan, sehingga mencegah kerusakan yang serius. Selain itu, bagian tengah rumah ini menyerupai badan kapal, yang dianggap sebagai representasi dari perahu nenek moyang yang dikenal sebagai Lancang.
Atap yang berbentuk tanduk kerbau dihubungkan dengan cerita rakyat "Tambo Alam Minangkabau", yang menceritakan kemenangan orang Minang dalam peristiwa adu kerbau melawan orang Jawa. Ini menunjukkan betapa pentingnya simbolisme dalam budaya Minangkabau, yang seringkali terikat dengan tradisi dan nilai-nilai yang telah diwariskan.
3. Rumah Kebaya (Betawi)
Rumah Kebaya adalah rumah adat masyarakat Betawi, yang merupakan suku asli Jakarta. Nama rumah ini diambil dari bentuk atapnya yang terlihat seperti lipatan kebaya jika dilihat dari samping. Desain ini mencerminkan keanggunan dan keunikan budaya Betawi.
Atap Rumah Kebaya berbentuk seperti pelana yang dilipat dan terbuat dari genteng, sedangkan pondasi bangunan terbuat dari susunan batu kali yang kuat. Salah satu elemen yang paling menarik dari Rumah Kebaya adalah ornamen hiasan gigi balang, yang menghiasi bagian ujung atap atau lisplang rumah. Motif gigi balang meliputi berbagai bentuk, seperti wajik, wajik susun dua, potongan waru, dan kuntum melati. Ornamen ini tidak hanya berfungsi sebagai dekorasi, tetapi juga melambangkan ketahanan dan pertahanan masyarakat Betawi dalam kehidupan sehari-hari.
Rumah Kebaya mencerminkan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Betawi, yang terkenal dengan keramahtamahannya. Struktur rumah ini biasanya terbuka dan luas, mendukung interaksi sosial dan acara keluarga, yang sangat dihargai dalam budaya Betawi.
4. Rumah Joglo (Jawa Tengah)
Rumah Joglo adalah rumah adat yang berasal dari Jawa Tengah. Ciri khasnya adalah atap yang menyerupai piramida dengan bentuk yang mengerucut, memberikan kesan megah dan elegan. Rumah ini seringkali digunakan sebagai tempat tinggal keluarga besar dan pusat kegiatan sosial.
Rumah Joglo biasanya terdiri dari empat bagian utama,
Pendopo: Teras terbuka yang digunakan untuk menerima tamu, sering kali dihias dengan ornamen khas Jawa. Pendopo mencerminkan keramahan dan keterbukaan masyarakat.
Pringgitan: Ruang samping yang biasanya digunakan sebagai ruang tamu atau tempat berkumpul keluarga.
Ruang Utama: Bagian inti rumah yang sering digunakan untuk kegiatan sehari-hari keluarga.
Sentong: Ruang penyimpanan yang digunakan untuk menyimpan barang-barang dan peralatan rumah tangga.
Rumah Joglo mencerminkan struktur sosial masyarakat Jawa yang mementingkan nilai-nilai kekeluargaan, tata krama, dan tradisi. Arsitektur dan tata ruang Rumah Joglo menunjukkan pengaruh sistem sosial yang hierarkis, di mana setiap bagian rumah memiliki fungsi yang jelas dan penting dalam kehidupan masyarakat.
5. Rumah Adat Honai (Papua)
Rumah Honai merupakan rumah adat yang berasal dari Provinsi Papua, khususnya milik Suku Dani. Kata "Honai" sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa setempat: "Husn," yang berarti laki-laki, dan "Ai," yang berarti rumah. Hal ini menunjukkan bahwa rumah ini memiliki fungsi khusus, yaitu sebagai tempat tinggal bagi laki-laki. Perempuan, meskipun sudah menikah, tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah Honai.
Rumah Honai memiliki bentuk dasar lingkaran dengan rangka kayu dan atap kerucut yang terbuat dari jerami. Ketinggian rumah ini hanya sekitar 2,5 meter, memberikan kesan intim dan nyaman. Meskipun ukurannya kecil, Rumah Honai memiliki dua lantai yang masing-masing memiliki fungsi berbeda. Lantai pertama biasanya digunakan untuk kegiatan sehari-hari, sedangkan lantai kedua digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga atau sebagai tempat tidur.
Rumah Honai tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga menjadi simbol dari identitas dan adat Suku Dani. Keberadaan rumah ini mencerminkan struktur sosial yang mengedepankan peran gender, di mana laki-laki memiliki ruang khusus dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menekankan pentingnya nilai-nilai tradisional dan hierarki dalam budaya Papua.
6. Rumah Adat Tongkonan (Toraja)
Rumah Tongkonan adalah rumah adat yang berasal dari Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Rumah ini memiliki ciri khas berbentuk rumah panggung, namun bagian atapnya menyerupai perahu terbalik, yang menjadi simbol kepercayaan masyarakat Toraja. Keunikan desain ini melambangkan kedekatan masyarakat dengan alam dan budaya maritim.
Rumah Tongkonan terdiri dari berbagai jenis yang dibedakan berdasarkan peran pemimpin masyarakat.
Tongkonan Pekamberan: Dibangun untuk keluarga besar tokoh masyarakat yang memiliki otoritas tinggi.
Tongkonan Layuk: Awalnya digunakan untuk urusan pemerintahan dan kekuasaan.
Tongkonan Batu A'riri: Digunakan oleh masyarakat umum yang tidak memiliki kekuasaan dalam adat. Struktur rumah ini biasanya tinggi dan memiliki beberapa tiang penyangga, yang memberikan kestabilan dan keindahan pada bangunan.
Rumah Tongkonan merupakan pusat kegiatan sosial dan adat. Rumah ini sering digunakan untuk upacara adat, seperti pernikahan dan pemakaman, yang sangat penting dalam budaya Toraja. Tongkonan menjadi simbol identitas dan kebanggaan masyarakat, serta mencerminkan nilai-nilai sosial dan spiritual yang dijunjung tinggi.
7. Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar (Riau)
Rumah Selaso Jatuh Kembar adalah rumah adat resmi Provinsi Riau. Bentuknya yang panggung dan persegi panjang mencerminkan arsitektur tradisional Melayu yang kaya akan nilai-nilai spiritual dan estetika. Di puncak atap rumah, terdapat hiasan kayu yang mencuat ke atas dalam bentuk bersilang, yang disebut Tunjuk Langit. Hiasan ini merupakan pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menunjukkan hubungan spiritual masyarakat dengan keyakinan mereka.
Salah satu ciri khas dari Rumah Selaso Jatuh Kembar adalah adanya selasar keliling yang lantainya lebih rendah daripada ruang tengah. Nama “Selaso Jatuh Kembar” diambil dari desain ini, yang memberikan kesan unik dan estetis. Hiasan rumah ini juga dipenuhi dengan motif alam, dengan corak yang umumnya terinspirasi dari flora, fauna, dan benda-benda angkasa. Corak-corak ini mencerminkan hubungan masyarakat Melayu dengan alam dan kehidupan sehari-hari mereka.
Rumah Selaso Jatuh Kembar tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai simbol identitas budaya dan nilai-nilai masyarakat Riau. Keberadaan rumah ini menggambarkan pentingnya harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, serta mencerminkan kekayaan budaya Melayu yang kaya akan tradisi dan spiritualitas.
8. Rumah Adat Panggung Kajang Leko (Jambi)
Rumah Panggung Kajang Leko adalah rumah adat yang berasal dari Jambi, ditetapkan sebagai rumah adat resmi Provinsi Jambi pada tahun 1970-an. Penetapan ini muncul setelah sayembara untuk menentukan identitas rumah adat daerah, yang dilakukan oleh Gubernur Jambi saat itu.
Bentuk rumah Kajang Leko adalah persegi panjang dengan ukuran sekitar 9 x 12 meter dan dilengkapi oleh 30 tiang—24 tiang utama dan 6 tiang palamban. Rumah ini termasuk dalam kategori rumah panggung, sehingga lebih tinggi dari tanah. Keunikan lain dari rumah ini terlihat dari hiasan ukirannya yang indah, serta atap yang disebut “Gajah Mabu”. Istilah ini berasal dari filosofi pembuat rumah yang terinspirasi dari perasaan galau karena cinta yang tidak direstui.
Rumah Panggung Kajang Leko melambangkan kearifan lokal dan sejarah masyarakat Jambi. Setiap elemen dalam arsitekturnya memiliki makna yang mendalam, mencerminkan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat yang menjunjung tinggi keindahan dan kearifan.
9. Rumah Adat Limas (Sumatera Selatan)
Rumah Limas adalah rumah adat yang berasal dari Provinsi Sumatera Selatan. Dengan gaya rumah panggung dan ukuran yang bervariasi, seperti minimal 15 x 30 m atau 20 x 60 m, rumah ini menonjolkan arsitektur yang megah dan fungsional.
Rumah Limas memiliki lima tingkatan, masing-masing dengan arti, makna, dan fungsi yang berbeda. Penataan ruangan ini mengikuti filosofi "Kekijing", yang mengatur setiap ruangan berdasarkan anggota keluarga yang menghuni rumah.
- Tingkat pertama: "Pagar Tenggalung", ruangan terbuka tanpa sekat.
- Tingkat kedua: "Jogan", tempat berkumpul para anggota keluarga laki-laki.
- Tingkat ketiga: "Kekijing", digunakan untuk tamu khusus.
- Tingkat keempat: untuk orang-orang terhormat dalam keluarga.
- Tingkat kelima: "Gegajah", digunakan oleh individu dengan kedudukan tinggi dalam masyarakat.
Rumah Limas tidak hanya berfungsi sebagai hunian, tetapi juga sebagai simbol status sosial dan identitas keluarga. Keberadaan lima tingkatan ini mencerminkan hierarki dalam keluarga dan masyarakat, serta pentingnya hubungan antaranggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari.
10. Rumah Adat Sulah Nyanda (Banten)
Rumah Sulah Nyanda adalah rumah adat yang terletak di kawasan pegunungan Provinsi Banten dan dihuni oleh Suku Baduy. Masyarakat Baduy dikenal dengan kehidupan yang sederhana dan harmonis dengan alam, yang tercermin dalam cara mereka membangun rumah. Sulah Nyanda memiliki ukuran yang relatif kecil, yaitu sekitar 9 x 12 meter, dan dibangun dengan prinsip gotong royong yang melibatkan seluruh anggota komunitas.
Proses pembangunan Rumah Sulah Nyanda sangat memperhatikan kelestarian alam. Masyarakat setempat menggunakan bahan-bahan alami seperti, kayu, babu, ijuk, rotan, dan rumbia. Bagian dasar pondasi rumah ini dibuat dari batu kali atau umpak sebagai landasan, memastikan stabilitas tanpa merusak tanah di sekitarnya.
Suku Baduy memiliki prinsip yang sangat kuat dalam menjaga hubungan dengan alam. Mereka menolak untuk merusak alam demi pembangunan, yang tercermin dalam berbagai larangan dan aturan yang diterapkan saat membangun rumah. Beberapa aturan tersebut meliputi,
Arah Bangunan: Rumah harus dibangun menghadap arah mata angin tertentu.
- Tanpa Paku dan Besi: Penggunaan paku dan besi dilarang; rumah harus dibangun tanpa menggunakan material modern ini, agar tetap terjaga keasliannya.
- Tanpa Cat: Rumah tidak diperbolehkan dicat untuk mempertahankan warna alami bahan yang digunakan.
Rumah Sulah Nyanda tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga memiliki simbolisme yang mendalam. Di beberapa perkampungan Baduy, rumah-rumah sering diberi tanda dari bambu dan ijuk dengan bentuk lingkaran atau tanduk.
- Bentuk Lingkaran: Menunjukkan bahwa penghuninya belum pernah melanggar larangan adat dan mencerminkan ketentraman dalam hidup.
- Bentuk Tanduk: Menandakan bahwa penghuni rumah tersebut pernah terlibat dalam permasalahan peradilan adat atau melanggar larangan yang ada.