Liputan6.com, Jakarta Kawasan Asia Tenggara memiliki risiko seismik cukup tinggi, dengan beberapa negara yang berada di Cincin Api Pasifik. Salah satu gempa terbaru yang menghebohkan adalah gempa Myanmar yang terjadi pada 28 Maret 2025 dengan kekuatan Magnitudo 7,7. Peristiwa gempa Myanmar ini menambah daftar panjang bencana alam berkekuatan besar yang telah mengguncang kawasan ASEAN, mengakibatkan ribuan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang signifikan di seluruh kawasan.
Selain gempa Myanmar, negara-negara ASEAN lainnya seperti Indonesia, Filipina, Thailand, Laos, dan Kamboja juga memiliki catatan historis gempa yang tidak kalah dahsyat. Indonesia sebagai salah satu negara di ASEAN dengan aktivitas seismik tertinggi telah mengalami beberapa gempa terdahsyat di dunia, termasuk gempa dan tsunami Aceh pada tahun 2004 yang menewaskan ratusan ribu orang. Sementara itu, gempa di negara ASEAN lainnya mungkin tidak sebanyak Indonesia, namun tetap memiliki dampak yang signifikan bagi penduduk dan infrastruktur setempat.
Pemahaman tentang gempa di negara ASEAN ini penting sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana dan peningkatan kesadaran masyarakat akan risiko seismik di kawasan yang kita tinggali. Berikut adalah tinjauan komprehensif tentang gempa-gempa signifikan yang telah membentuk sejarah bencana alam di Asia Tenggara, diurutkan dari yang berkekuatan paling besar.
Berikut ini telah Liputan6.com rangkum, gempa-gempa besar yang pernah terjadi di kawasan ASEAN, termasuk gempa Myanmar terbaru yang menjadi sorotan dunia, pada Sabtu (29/3).
Simak informasi dalam Fokus Pagi edisi (29/3) dengan topik-topik pilihan di antaranya, Ruas Jalan Terendam Banjir, Jalur Rel Kereta Ambles, Rute Dialihkan, Polisi Gerebek Tempat Pembuatan Mercon, Gempa Guncang Myanmar dan Thailand, Kebakaran di Permu...
1. Gempa dan Tsunami Aceh 2004: Magnitudo 9,1
Gempa dan tsunami Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004 merupakan salah satu bencana alam terbesar dalam sejarah modern, tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi dunia. Dengan kekuatan mencapai 9,1 magnitudo dan kedalaman sekitar 30 km, gempa ini disebabkan oleh runtuhnya megathrust Sumatra sepanjang 1.300 km, yang mengangkat dasar laut lebih dari 20 m dan memicu tsunami dahsyat. Gelombang tsunami setinggi lebih dari 30 meter menghantam garis pantai Aceh hanya dalam waktu 20 menit setelah gempa terjadi, memberikan sangat sedikit waktu bagi penduduk untuk menyelamatkan diri.
Dampak bencana ini sangatlah luas dan menghancurkan. Lebih dari 230.000 orang tewas di 14 negara, dengan Indonesia menjadi negara yang paling parah terdampak, khususnya Provinsi Aceh. Sekitar 170.000 orang tewas di Indonesia saja, sementara negara-negara lain seperti Sri Lanka, India, dan Thailand juga mengalami kerusakan parah di wilayah pesisir mereka. Selain korban jiwa, bencana ini juga menyebabkan kerugian ekonomi yang luar biasa, menghancurkan infrastruktur dan mata pencaharian jutaan orang. Respons internasional terhadap bencana ini sangat masif, dengan bantuan dan dukungan mengalir dari seluruh dunia untuk membantu upaya pemulihan. Tragedi ini juga mendorong pengembangan sistem peringatan dini tsunami di Samudra Hindia, yang sebelumnya tidak ada, serta memicu kesadaran global akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana alam, terutama di kawasan yang rentan seperti ASEAN.
2. Gempa Nias 2005: Magnitudo 8,7
Setelah tragedi Aceh, gempa besar kembali mengguncang Indonesia pada 28 Maret 2005, kali ini berpusat di dekat Pulau Nias dengan kekuatan 8,7 magnitudo dan kedalaman sekitar 30 km. Gempa Nias ini sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian aktivitas seismik yang dipicu oleh gempa Aceh 2004, di mana tekanan tektonik yang terkumpul di sepanjang Sesar Sumatra terus mencari jalan untuk dilepaskan. Gempa ini juga memicu tsunami meskipun tidak sedahsyat tsunami Aceh, dengan ketinggian gelombang mencapai 3 meter di beberapa daerah, termasuk Kabupaten Singkil dan Aceh Selatan.
Meskipun ukurannya hampir sebesar gempa Aceh, gempa Nias menimbulkan kerusakan yang relatif lebih terbatas. Sekitar 1.300 orang tewas, sebagian besar di Pulau Nias dan Simeulue, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan gempa Aceh. Hal ini sebagian karena gempa terjadi pada siang hari ketika banyak orang sedang beraktivitas di luar ruangan, dan juga karena kesadaran masyarakat yang meningkat setelah tragedi Aceh. Penduduk lokal di Pulau Simeulue bahkan berhasil menyelamatkan diri berkat pengetahuan lokal "smong" (istilah lokal untuk tsunami) yang diturunkan dari generasi ke generasi sejak tsunami besar terakhir pada tahun 1907. Gempa Nias juga menyoroti pentingnya sistem peringatan dini dan pengetahuan lokal dalam mitigasi bencana, serta menekankan kembali kerentanan kawasan Indonesia terhadap gempa besar sebagai bagian dari Cincin Api Pasifik.
3. Gempa Tual Maluku 1938: Magnitudo 8,5
Jauh sebelum era teknologi pemantauan gempa modern, Indonesia telah mengalami banyak gempa dahsyat yang tercatat dalam sejarah. Salah satunya adalah gempa Tual Maluku yang terjadi pada 1 Februari 1938 dengan kekuatan mencapai 8,5 magnitudo. Gempa ini terjadi di dasar laut dekat Tual, Maluku, dan memicu tsunami yang menyebabkan kerusakan parah di Pulau Banda dan Kepulauan Kei. Meskipun catatan korban jiwa tidak selengkap gempa-gempa modern, banyak penduduk dipastikan tenggelam akibat tsunami yang menyapu permukiman pesisir.
Gempa Tual 1938 menjadi bukti bahwa aktivitas seismik kuat di Indonesia bukanlah fenomena baru. Wilayah Maluku dan Papua memang terletak pada pertemuan kompleks beberapa lempeng tektonik, menjadikannya salah satu zona seismik paling aktif di dunia. Meskipun terjadi hampir 90 tahun lalu, gempa ini merupakan salah satu yang terkuat yang pernah tercatat di kawasan timur Indonesia. Studi modern terhadap gempa historis seperti ini membantu para ilmuwan untuk memahami pola seismik jangka panjang dan memprediksi kemungkinan gempa di masa depan. Catatan gempa Tual juga mengingatkan kita bahwa kawasan ASEAN, khususnya Indonesia, telah lama hidup berdampingan dengan risiko seismik tinggi, dan pengetahuan tentang sejarah gempa penting untuk membangun ketahanan menghadapi bencana serupa di masa depan.
4. Gempa Sumatera Barat 2009: Magnitudo 7,6
Pada 30 September 2009, gempa berkekuatan 7,6 magnitudo mengguncang Provinsi Sumatera Barat, Indonesia, dengan pusat gempa berada di kedalaman sekitar 71 km di lepas pantai. Gempa ini menyebabkan kerusakan luas di kota Padang, ibu kota provinsi, serta kota-kota dan desa-desa di sekitarnya. Lebih dari 1.100 orang tewas, ribuan lainnya terluka, dan lebih dari 135.000 rumah rusak berat atau hancur total. Infrastruktur vital seperti rumah sakit, sekolah, dan bangunan pemerintah juga mengalami kerusakan parah, mempersulit upaya tanggap darurat.
Yang membuat gempa Padang ini berbeda adalah kedalaman hiposentrumnya yang moderat (71 km) namun tetap menimbulkan kerusakan signifikan. Para ahli menjelaskan bahwa salah satu faktor utamanya adalah kondisi tanah di kota Padang yang cenderung lunak dan berpotensi mengalami amplifikasi gelombang seismik. Selain itu, banyak bangunan yang tidak dibangun dengan standar tahan gempa yang memadai. Tragedi ini mendorong pemerintah Indonesia untuk memperketat peraturan bangunan dan meningkatkan kesiapsiagaan bencana di wilayah-wilayah rawan gempa. Padang kemudian menjadi salah satu kota percontohan dalam implementasi program pengurangan risiko bencana, dengan pelatihan rutin dan simulasi evakuasi bagi penduduk. Gempa Sumatera Barat 2009 menjadi pengingat akan pentingnya membangun infrastruktur yang tahan gempa dan meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama di kawasan ASEAN yang rentan terhadap aktivitas seismik.
5. Gempa Myanmar 2025: Magnitudo 7,7
Gempa Myanmar yang terjadi pada 28 Maret 2025 dengan magnitudo 7,7 telah menjadi salah satu bencana alam terbesar yang mengguncang kawasan ASEAN dalam beberapa tahun terakhir. Pusat gempa berada di area berjarak 16 kilometer sebelah barat laut kota Sagaing, dengan kedalaman yang relatif dangkal, yaitu hanya 10 kilometer dari permukaan bumi. Lokasi episentrum yang dekat dengan kota Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar dengan populasi sekitar 1,5 juta penduduk, menyebabkan dampak gempa menjadi sangat signifikan bagi negara tersebut.
Gempa ini telah menyebabkan kerusakan infrastruktur yang parah di Myanmar, termasuk robohnya gedung-gedung, runtuhnya Jembatan Sagaing Lama yang menghubungkan wilayah Ava dan Sagaing, serta kerusakan jalan di berbagai wilayah. Korban tewas di Myanmar diperkirakan mencapai 694 orang, dengan angka yang mungkin terus meningkat seiring berjalannya upaya pencarian korban. Yang membuat gempa ini semakin mencolok adalah dampaknya yang dirasakan hingga ke negara-negara tetangga seperti Thailand dan China. Di Bangkok, Thailand, sebuah gedung pencakar langit setinggi 30 lantai yang sedang dalam proses pembangunan ambruk akibat guncangan, menambah jumlah korban jiwa dan menunjukkan jangkauan luas dari kekuatan gempa ini.
6. Gempa Bumi di Filipina 1990: Magnitudo 7,7
Pada 15 April 1990, gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,7 magnitudo mengguncang wilayah Luzon di Filipina, menjadi salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah negara tersebut. Gempa ini, yang kemudian dikenal sebagai Gempa Luzon, berpusat di area yang mencakup Provinsi Nueva Ecija dan Pangasinan, tetapi dampaknya dirasakan di seluruh bagian utara Luzon, terutama di kota pegunungan Baguio yang mengalami kehancuran parah. Banyak bangunan bertingkat ambruk, jalan-jalan retak, dan infrastruktur vital seperti jembatan hancur, mengakibatkan isolasi beberapa wilayah selama berhari-hari.
Akibat gempa Luzon, diperkirakan lebih dari 1.600 orang tewas, lebih dari 3.000 orang luka-luka, dan sekitar 100.000 orang kehilangan tempat tinggal. Kota Baguio, yang dikenal sebagai destinasi wisata populer di Filipina, menjadi salah satu wilayah terparah dengan banyak hotel dan bangunan komersial yang ambruk, termasuk Hotel Hyatt Terraces yang runtuh hingga rata dengan tanah, menewaskan puluhan wisatawan dan staf hotel. Peristiwa ini menggugah kesadaran Filipina akan pentingnya penerapan standar bangunan tahan gempa dan sistem peringatan dini, yang kemudian mendorong reformasi dalam kebijakan mitigasi bencana di negara tersebut. Hingga kini, Gempa Luzon 1990 tetap menjadi pengingat akan kerentanan Filipina terhadap bencana seismik sebagai salah satu negara yang terletak di Cincin Api Pasifik.
7. Gempa Yogyakarta 2006: Magnitudo 6,3
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,3 magnitudo mengguncang wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah di Indonesia. Meskipun magnitudo gempa ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan beberapa gempa lain yang telah dibahas, dampaknya sangat signifikan dengan lebih dari 5.700 orang tewas, sekitar 38.000 luka-luka, dan lebih dari 600.000 orang kehilangan tempat tinggal. Kerusakan terparah terjadi di Kabupaten Bantul, di mana banyak bangunan tradisional dan rumah-rumah sederhana ambruk karena tidak mampu menahan guncangan.
Gempa Yogyakarta 2006 menjadi contoh nyata bahwa gempa dengan magnitudo sedang pun dapat menimbulkan bencana besar tergantung pada beberapa faktor kunci. Pertama, gempa ini memiliki kedalaman yang sangat dangkal, hanya sekitar 10 km, yang menyebabkan gelombang seismik sangat intens di permukaan. Kedua, gempa terjadi pada pagi hari ketika banyak orang masih berada di dalam rumah, meningkatkan risiko tertimpa bangunan yang runtuh. Ketiga, banyak bangunan di daerah tersebut tidak dibangun dengan standar tahan gempa. Dan keempat, kepadatan penduduk yang tinggi di area terdampak. Tragedi ini mendorong perbaikan signifikan dalam kode bangunan Indonesia dan kampanye edukasi publik tentang gempa bumi. Yogyakarta kini telah menjadi salah satu provinsi yang paling proaktif dalam mengimplementasikan program-program pengurangan risiko bencana di Indonesia.
8. Gempa Bumi di Thailand 2010: Magnitudo 6,3
Thailand, meskipun tidak sering mengalami gempa besar seperti Indonesia atau Filipina, juga memiliki catatan aktivitas seismik yang signifikan. Pada 5 April 2010, gempa berkekuatan 6,3 magnitudo mengguncang wilayah dekat perbatasan Thailand-Laos. Meskipun pusat gempa berada di area yang relatif jarang penduduk, getarannya dirasakan hingga ke Bangkok yang berjarak ratusan kilometer. Sementara tidak ada laporan korban jiwa yang signifikan, beberapa bangunan di wilayah utara Thailand mengalami kerusakan struktural, dan kejadian ini menjadi pengingat bahwa Thailand tidak sepenuhnya bebas dari risiko seismik.
Gempa ini terjadi di area yang tidak biasanya dikaitkan dengan aktivitas seismik tinggi, dan menunjukkan bahwa bahkan wilayah yang dianggap relatif aman pun dapat mengalami gempa yang signifikan. Pemerintah Thailand meresponnya dengan meningkatkan pemantauan aktivitas seismik dan memperkuat standar bangunan, terutama di wilayah utara yang lebih dekat dengan zona patahan aktif. Peristiwa ini juga meningkatkan kesadaran publik di Thailand tentang potensi bahaya gempa, yang sebelumnya tidak terlalu dianggap sebagai ancaman serius oleh sebagian besar penduduk. Meskipun dampaknya tidak sebesar gempa-gempa lain yang telah dibahas, gempa Thailand 2010 menjadi titik balik penting dalam persepsi risiko seismik dan kesiapsiagaan bencana di negara tersebut.
9. Gempa Bumi di Laos 2009: Magnitudo 6,0
Tetangga Thailand, Laos, juga tidak luput dari aktivitas gempa. Pada 18 September 2009, gempa berkekuatan 6,0 magnitudo melanda daerah utara Laos dan dampaknya dirasakan hingga Thailand serta Vietnam. Wilayah utara Laos yang bergunung-gunung dan berbatasan dengan zona seismik aktif di China menjadikan negara ini rentan terhadap gempa meskipun jarang terjadi gempa besar. Tidak ada laporan resmi mengenai korban jiwa dari gempa ini, namun beberapa infrastruktur di daerah terpencil mengalami kerusakan.
Bagi Laos, yang merupakan salah satu negara paling kurang berkembang di kawasan ASEAN, gempa 2009 mengungkapkan kerentanan infrastrukturnya terhadap bencana alam. Negara ini memiliki sumber daya terbatas untuk pengurangan risiko bencana dan sistem peringatan dini, sehingga mengandalkan kerjasama regional dan bantuan internasional dalam menghadapi bencana. Gempa ini mendorong dialog yang lebih intensif tentang manajemen bencana di antara negara-negara di sub-kawasan Mekong, dan menyoroti pentingnya berbagi informasi seismik dan praktik terbaik dalam mitigasi gempa. Meski tidak sebesar gempa di negara-negara tetangga, gempa Laos 2009 merupakan pengingat bahwa seluruh kawasan ASEAN, bahkan negara-negara yang jarang mengalami gempa sekalipun, perlu mempertimbangkan risiko seismik dalam perencanaan pembangunan dan kebijakan publik mereka.
10. Gempa Kamboja 2016: Magnitudo 5,9
Kamboja, meskipun bukan negara yang sering dikaitkan dengan aktivitas seismik tinggi, juga memiliki catatan gempa yang perlu diperhatikan. Pada 24 April 2016, gempa berkekuatan 5,9 magnitudo mengguncang bagian barat daya Kamboja dan getarannya dirasakan hingga ke ibu kota Phnom Penh. Meskipun tidak ada korban jiwa yang dilaporkan, gempa ini menimbulkan kepanikan di kalangan penduduk karena jarangnya peristiwa serupa terjadi di negara ini. Banyak warga Phnom Penh berlarian keluar dari gedung-gedung tinggi saat merasakan guncangan, menunjukkan kurangnya kesiapan menghadapi bencana seismik di negara yang jarang mengalami gempa.
Kamboja terletak di antara dua zona tektonik aktif: Sabuk Gunung Himalaya di utara dan Cincin Api Pasifik di timur. Meskipun tidak berada tepat di atas zona patahan aktif, Kamboja masih bisa merasakan dampak dari gempa yang terjadi di wilayah sekitarnya. Gempa 2016 menjadi momentum penting bagi pemerintah Kamboja untuk mulai meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan memperbaiki standar bangunan, terutama di area perkotaan yang semakin dipenuhi gedung-gedung tinggi. Peristiwa ini juga mengingatkan bahwa bahkan negara-negara ASEAN yang dianggap "aman" dari gempa tetap perlu memiliki protokol darurat dan edukasi publik yang memadai terkait bencana seismik.