Tradisi Satu Suro: Kenapa Orang Berebut Kotoran Kerbau dan Menyantap Bubur Tujuh Kacang?

5 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta Malam Satu Suro telah lama dianggap sebagai malam yang sakral dan penuh kekuatan spiritual oleh masyarakat Jawa. Perayaan ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga sarana untuk meresapi nilai-nilai luhur budaya Jawa. Di berbagai kota seperti Yogyakarta dan Surakarta, perayaan ini bahkan menjadi agenda budaya dan wisata yang dinanti.

Satu Suro bukanlah hari biasa; ia menandai tahun baru dalam kalender Jawa yang dipadukan dengan kalender Hijriah. Mengutip situs resmi Indonesia Kaya, tradisi ini berasal dari masa Sultan Agung yang menyatukan kedua penanggalan demi menyebarkan ajaran Islam. Sejak itu, Satu Suro menjadi momen kontemplasi spiritual, bukan pesta pora.

Masyarakat Jawa menjalani malam ini dengan sikap khusyuk, eling (selalu ingat kepada Tuhan), dan waspada terhadap hal buruk. Beragam ritual seperti kirab pusaka, tapa bisu, hingga mubeng beteng dilakukan sebagai simbol pembersihan diri. Inilah bukti bagaimana tradisi dan spiritualitas berpadu dalam harmoni budaya yang lestari.

Asal Usul Satu Suro

Tradisi Satu Suro bermula pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kerajaan Mataram Islam. Kala itu, masyarakat Jawa mengikuti kalender Saka, sementara Islam menggunakan kalender Hijriah. Untuk menyatukan keduanya dan memperkuat penyebaran ajaran Islam, Sultan Agung menciptakan sistem penanggalan Jawa yang menggabungkan unsur Hijriah dan Saka.

Proses penyatuan ini terjadi pada Jumat Legi, bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka, bertepatan dengan 8 Juli 1633 Masehi. Sejak saat itu, tanggal 1 Suro menjadi hari pertama dalam kalender Jawa dan selalu bertepatan dengan 1 Muharram. Nama “Suro” sendiri berasal dari “Asyura” dalam bahasa Arab, yang berarti tanggal 10 Muharram, berkaitan dengan wafatnya Sayyidina Husein.

Dari Sultan Agung inilah, pola peringatan tahun Hijriah kemudian dilaksanakan secara resmi oleh negara, dan diikuti seluruh masyarakat Jawa. Penyatuan ini menjadikan bulan Suro sebagai waktu kontemplasi yang sangat dihormati.

Tradisi di Yogyakarta: Tapa Bisu hingga Bubur Suran

Keraton Yogyakarta merayakan malam Satu Suro dengan sejumlah ritual yang sarat makna filosofis. Salah satunya adalah Mubeng Beteng, yaitu berjalan mengelilingi benteng keraton tanpa berbicara dan tanpa alas kaki. Ritual ini merefleksikan sikap menahan diri dan introspeksi spiritual atas peristiwa yang telah terjadi selama satu tahun ke belakang.

Dalam prosesi Mubeng Beteng, peserta mengikuti rute sepanjang 4 km melewati berbagai titik penting di sekitar keraton. Suasana sunyi menjadi simbol pembersihan batin, tanpa distraksi duniawi. Ritual ini sering diawali dengan doa akhir dan awal tahun, dilanjutkan dengan tembang macapat berisi harapan.

Usai ritual, masyarakat biasanya menyantap Bubur Suran yang dimasak dengan rempah-rempah dan tujuh jenis kacang, seperti kacang hijau, merah, dan mede. Bubur ini melambangkan rasa syukur dan refleksi terhadap berkah Tuhan dalam tujuh hari setiap minggu. Rasa gurih dan manis mencerminkan harapan kehidupan seimbang ke depan.

Kirab Pusaka di Surakarta: Kebo Bule dan Makna Mistis

Berbeda dengan Yogyakarta, Keraton Surakarta menggelar Kirab Pusaka yang menjadi daya tarik utama malam Satu Suro. Kirab ini melibatkan kebo bule (kerbau albino) yang dipercaya membawa berkah dan keselamatan. Kerbau ini mengiringi pusaka utama keraton bernama Kyai Slamet, dan masyarakat sering berebut kotorannya karena diyakini mendatangkan keberuntungan.

Kebo bule sendiri memiliki garis keturunan dari hadiah Kyai Hasan Besari Tegalsari kepada Paku Buwono II. Sejak era Presiden Soeharto tahun 1973, kirab ini dilakukan ke luar tembok keraton atas permintaan doa bagi negara. Sejak itu pula kirab menjadi acara terbuka yang melibatkan masyarakat luas.

Kirab pusaka disertai dengan suasana khidmat dan doa bersama di Masjid Pujasana. Upacara ini juga menjadi bentuk taqarrub (pendekatan diri kepada Tuhan) dan tafakur bagi keluarga keraton dan masyarakat. Sinuhun Paku Buwono XII mulai melaksanakan kirab pusaka di luar tembok keraton dan mengikutsertakan kebo bule.

Larangan Tak Tertulis dan Laku Prihatin di Bulan Suro

Satu hal yang unik dari bulan Suro adalah adanya larangan tak tertulis untuk mengadakan pesta atau hajatan. Hal ini diyakini karena bulan Suro adalah waktu untuk menyucikan diri, bukan untuk bersenang-senang. Masyarakat percaya bahwa melanggar larangan ini bisa mendatangkan malapetaka.

Sebagai gantinya, masyarakat melakukan “laku prihatin”, yaitu kegiatan untuk menahan hawa nafsu dan memperkuat spiritualitas. Laku prihatin ini bisa berupa tidak tidur semalaman, bertapa, atau tirakatan. Dalam beberapa tempat, masyarakat juga menonton pertunjukan wayang atau mengikuti pengajian.

Tradisi ini memperlihatkan kedalaman nilai moral yang dianut masyarakat Jawa. Bulan Suro menjadi simbol “pembersihan jiwa” sekaligus awal baru dalam hidup. Semua ini mengajarkan manusia untuk selalu mawas diri dan tidak larut dalam kesenangan dunia.

Simbol dan Filosofi: Antara Dunia Nyata dan Mistik

Di balik setiap ritual Satu Suro, tersimpan banyak simbol dan filosofi yang menyatukan dunia nyata dan mistik. Mubeng Beteng, misalnya, merupakan adaptasi dari tradisi pradaksina dan prasawya dalam Hindu-Buddha. Dalam pandangan Kejawen, ritual ini bukan sekadar prosesi jalan kaki, tetapi sarana untuk mengolah batin.

ika orang berjalan dengan pradaksina, maka secara simbolis dia memohon kebutuhan lahiriah. Jika berjalan dengan prasawya, maka secara simbolis lebih bersifat ilmu kesempurnaan hidup (batiniah). Simbolisme ini mengakar kuat dalam budaya Jawa yang sinkretik.

Tradisi seperti tapa bisu, jamasan pusaka, hingga menyantap bubur Suran semuanya menyimpan pesan spiritual mendalam. Tak hanya soal warisan leluhur, tetapi juga bagaimana manusia Jawa memaknai hidup secara seimbang antara duniawi dan ilahi. Ini yang membuat Satu Suro selalu istimewa dan terus dirayakan lintas generasi.

Pertanyaan Seputar Topik

Apa itu tradisi malam Satu Suro?

Tradisi malam Satu Suro adalah rangkaian ritual yang dilakukan masyarakat Jawa pada malam tahun baru Jawa, yang juga bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Islam. Ritual ini mencakup kirab pusaka, tapa bisu, dan doa bersama.

Mengapa bulan Suro dianggap keramat?

Bulan ini dipercaya sebagai bulan sakral yang penuh kekuatan spiritual. Dalam budaya Jawa, bulan ini adalah waktu untuk introspeksi diri dan menjauh dari kegiatan hura-hura.

Apa makna kebo bule dalam kirab Satu Suro?

Kebo bule dianggap sebagai hewan pusaka keraton yang membawa berkah dan keselamatan. Ia merupakan simbol penjaga pusaka spiritual dan pusat perhatian dalam kirab.

Apakah orang Jawa dilarang menikah di bulan Suro?

Tidak secara resmi, tapi ada kepercayaan untuk tidak menggelar perayaan besar seperti pernikahan selama bulan Suro karena dianggap kurang baik atau rawan sial.

Read Entire Article
Photos | Hot Viral |