Suro Apakah Boleh Menikah? Mitos, Fakta, dan Perspektif Islam

5 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta Pertanyaan suro apakah boleh menikah sering muncul menjelang pergantian tahun Jawa, terutama di kalangan masyarakat yang masih memegang teguh tradisi leluhur. Bulan Suro, yang merupakan bulan pertama dalam penanggalan Jawa, memang dikenal memiliki berbagai pantangan dan larangan yang telah mengakar dalam budaya masyarakat selama berabad-abad.

Bagi pasangan yang berencana menikah, memahami suro apakah boleh menikah menjadi penting untuk menghormati kepercayaan keluarga dan lingkungan sosial. Meski zaman telah berubah dan modernisasi merambah ke berbagai aspek kehidupan, tradisi larangan menikah di bulan Suro masih dijaga dan dipatuhi oleh sebagian masyarakat Jawa hingga saat ini.

Untuk menjawab suro apakah boleh menikah, kita perlu memahami latar belakang sejarah, makna filosofis, serta pandangan agama terhadap tradisi ini. Berikut ini telah Liputan6.com ulas secara komprehensif tentang suro apakah boleh menikah berdasarkan berbagai perspektif, mulai dari kepercayaan tradisional hingga pandangan keagamaan modern, pada Selasa (24/6).

Malam 1 Suro 2022 atau 1 Muharram 1444 H jatuh pada 29 Juli 2022, menandakan awal tahun baru penanggalan Islam dan Jawa. Malam 1 Suro juga dipercaya sebagai waktu munculnya lelembut ke alam manusia. Untuk itu, ada sejumlah pantangan bagi masyarakat J...

Sejarah dan Makna Bulan Suro dalam Tradisi Jawa

Bulan Suro memiliki sejarah panjang yang tidak terlepas dari peran Sultan Agung, penguasa Kesultanan Mataram pada abad ke-17. Sultan Agung dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kebudayaan dan spiritualitas Jawa yang berhasil mengintegrasikan kalender Islam (Hijriah) dengan sistem penanggalan Jawa yang sebelumnya menggunakan kalender Saka dari tradisi Hindu.

Kata "Suro" sendiri berasal dari kata "asyura" dalam bahasa Arab yang berarti "sepuluh," merujuk pada tanggal 10 Muharram. Sultan Agung mengganti nama bulan Muharam dalam kalender Islam menjadi Suro dalam kalender Jawa, namun memberikan makna yang lebih kompleks sesuai dengan kepercayaan lokal.

Dalam tradisi Jawa, bulan Suro dianggap sebagai bulan yang sakral dan penuh dengan kekuatan spiritual. Masyarakat Jawa meyakini bahwa bulan ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan introspeksi, penyucian diri, dan menjaga harmoni dengan alam serta dunia spiritual, bukan untuk bersuka cita atau menggelar perayaan besar.

Kesakralan bulan Suro juga terkait dengan kepercayaan bahwa bulan ini dihuni oleh kekuatan gaib yang bisa mengganggu manusia jika tidak dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Jawa menghindari mengadakan hajatan besar seperti pernikahan, khitanan, atau pesta lainnya selama bulan ini berlangsung.

Mitos dan Kepercayaan Larangan Menikah di Bulan Suro

Larangan menikah di bulan Suro merupakan bagian dari kepercayaan turun-temurun yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Jawa. Menurut mitos yang beredar, menikah di bulan Suro dianggap akan mendatangkan kesialan dalam pernikahan, seperti konflik rumah tangga, rezeki yang seret, hingga perceraian.

Para tetua adat dan dukun memainkan peran penting dalam menjaga tradisi larangan ini. Mereka memercayai bahwa melanggar larangan menikah di bulan Suro akan membawa malapetaka bagi calon pengantin. Beberapa upacara adat seperti selamatan dan doa bersama juga diadakan untuk mencegah datangnya kesialan bagi mereka yang nekat melanggar larangan tersebut.

Kepercayaan ini juga dipengaruhi oleh tradisi Hindu-Jawa yang ada sebelum kedatangan Islam. Dalam kepercayaan Islam-Jawa, terjadi perpaduan antara ajaran Islam dan kepercayaan Jawa kuno, di mana bulan Suro dianggap terlalu mulia untuk mengadakan perayaan seperti pernikahan.

Mitos yang mengiringi larangan ini juga terkait dengan peristiwa sejarah, seperti peristiwa Karbala yang menyebabkan wafatnya Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW, di bulan Muharram. Meskipun tidak ada hubungan langsung antara peristiwa tersebut dengan larangan pernikahan, kepercayaan ini tetap mempengaruhi cara pandang masyarakat Jawa terhadap kesakralan bulan Suro.

Pandangan Agama Islam Terhadap Larangan Menikah di Bulan Suro

Dari perspektif Islam, syariat tidak mengenal konsep hari, bulan, atau waktu tertentu yang membawa sial atau keberuntungan. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT memerintahkan pernikahan tanpa membatasi waktu tertentu, sebagaimana firman-Nya dalam Surah An-Nur ayat 32 yang menganjurkan untuk menikahkan orang-orang yang belum bersuami atau beristri.

Keyakinan bahwa bulan Suro membawa kesialan atau keberuntungan tidak dibenarkan dalam Islam karena dapat mendekati praktik syirik. Islam mengajarkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dan percaya bahwa segala sesuatu terjadi atas izin-Nya, bukan karena pengaruh waktu atau hari tertentu.

Lembaga fatwa resmi seperti Dar al-Ifta Mesir pun menegaskan bahwa tidak ada larangan menikah di bulan apapun, termasuk bulan Muharram atau Suro, kecuali ketika seseorang sedang berihram. Rasulullah SAW bahkan pernah menikahkan putrinya, Fatimah, di bulan Syawal untuk membantah kepercayaan takhayul yang berkembang pada masa itu.

Dalam ajaran Islam, yang terpenting adalah kesiapan mental, spiritual, dan materi dari calon pengantin, bukan pemilihan waktu pernikahan. Kebaikan atau keburukan hanya datang dari kehendak Allah, dan tidak ada kaitannya dengan bulan atau hari tertentu dalam penanggalan.

Pandangan Agama Kristen dan Analisis Akademis Modern

Dalam perspektif agama Kristen, tradisi Suro termasuk larangan menikah di bulan ini dianggap sebagai kepercayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Keselamatan, berkat, dan perlindungan dalam iman Kristen datang melalui Yesus Kristus, bukan melalui praktik atau tradisi budaya tertentu.

Agama Kristen mengajarkan bahwa semua hari adalah sama di mata Tuhan, sehingga pernikahan dapat dilakukan kapan saja tanpa terikat oleh keyakinan tentang hari atau bulan tertentu. Ajaran Kristen juga menekankan untuk menghindari tahayul dan menggantungkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan.

Dari sudut pandang akademis modern, para ahli seperti Prof. Dr. Bani Sudardi dari Universitas Sebelas Maret menjelaskan bahwa kepercayaan mengenai dampak negatif menikah di bulan Suro sangat bergantung pada sugesti dan cara pandang masyarakat itu sendiri. Ketika ada pasangan yang menikah di bulan Suro lalu mengalami masalah rumah tangga, masyarakat cenderung mengaitkannya dengan waktu pernikahan tersebut.

Secara sosiologis, tradisi ini termasuk dalam kategori tindakan rasional nilai, yaitu tindakan yang dilakukan berdasarkan penghormatan terhadap nilai-nilai yang dianggap sakral. Meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung dampak negatif menikah di bulan Suro, kepercayaan ini tetap kuat karena telah menjadi bagian dari sistem nilai dan cara pandang hidup masyarakat Jawa.

Berdasarkan berbagai perspektif yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa larangan menikah di bulan Suro lebih merupakan tradisi budaya daripada ketentuan agama. Dari segi agama, baik Islam maupun Kristen tidak melarang pernikahan di waktu tertentu, termasuk bulan Suro atau Muharram.

Bagi pasangan yang ingin menikah, keputusan untuk menggelar pernikahan di bulan Suro atau tidak sebaiknya didasarkan pada pertimbangan yang matang. Jika keluarga dan lingkungan sosial masih memegang teguh tradisi ini, ada baiknya untuk menghormati kepercayaan tersebut demi menjaga keharmonisan hubungan.

Yang terpenting dalam pernikahan bukanlah waktu pelaksanaannya, melainkan kesiapan mental, spiritual, dan finansial dari kedua calon pengantin. Komitmen, kerja keras, komunikasi yang baik, dan rasa saling menghormati jauh lebih menentukan keberhasilan rumah tangga daripada pemilihan bulan pernikahan.

Bagi mereka yang memilih untuk tetap menikah di bulan Suro, penting untuk memiliki keyakinan yang kuat dan tidak terpengaruh oleh sugesti negatif. Sebaliknya, bagi yang memilih menunda pernikahan hingga bulan berikutnya, hal tersebut juga merupakan pilihan yang dapat dihormati sebagai bentuk penghargaan terhadap tradisi leluhur.

Tanya Jawab Seputar Larangan Menikah di Bulan Suro

Q: Kapan bulan Suro 2025 dimulai dan berakhir? 

A: Berdasarkan penanggalan Jawa, 1 Suro 1959 Jawa jatuh pada Sabtu Legi 28 Juni 2025. Namun dalam tradisi Jawa, malam dianggap sebagai bagian dari hari berikutnya, sehingga malam 1 Suro sudah dimulai sejak matahari terbenam pada Jumat Kliwon 27 Juni 2025.

Q: Apa saja kegiatan yang dilarang selama bulan Suro? 

A: Selain pernikahan, masyarakat Jawa juga pantang menggelar pesta, khitanan, membangun rumah, atau kegiatan hajatan lainnya yang bersifat riuh dan meriah. Bulan ini lebih cocok untuk kegiatan spiritual seperti tirakat, meditasi, tahlilan, dan ziarah ke makam leluhur.

Q: Bagaimana jika sudah terlanjur merencanakan pernikahan di bulan Suro? 

A: Secara agama, tidak ada larangan mutlak untuk menikah di bulan Suro. Keputusan tetap ada di tangan calon pengantin dengan mempertimbangkan kepercayaan keluarga dan lingkungan sosial. Yang terpenting adalah kesiapan mental, spiritual, dan finansial kedua calon pengantin.

Q: Apakah ada cara untuk "menetralisir" dampak negatif jika tetap menikah di bulan Suro? 

A: Dalam kepercayaan tradisional, beberapa orang melakukan ritual selamatan atau doa bersama. Namun dari perspektif agama, yang terpenting adalah berdoa, bertawakal kepada Allah, dan menjalani pernikahan dengan komitmen yang kuat serta komunikasi yang baik.

Read Entire Article
Photos | Hot Viral |