Nekat! Pendaki Gunung Diselamatkan Dua Kali dalam 5 Hari karena Hal Sepele

5 hours ago 5

Liputan6.com, Jakarta Gunung Fuji, dengan ketinggian 3.776 meter, adalah simbol kebanggaan Jepang sekaligus destinasi pendakian yang menantang bagi para petualang. Namun, kisah seorang pendaki yang harus diselamatkan dua kali dalam rentang waktu hanya lima hari telah menjadi perbincangan hangat di kalangan komunitas pendaki dan media internasional. 

Sebuah insiden yang menunjukkan bahwa kadang keputusan manusia bisa sangat mengejutkan dan sulit dipahami. Seorang mahasiswa asal Tiongkok berusia 27 tahun yang sedang belajar di Tokyo, Jepang, harus mengalami pengalaman memalukan dan berbahaya saat mendaki Gunung Fuji. 

Dalam rentang waktu hanya lima hari, pria ini harus diselamatkan dua kali dari gunung tertinggi di Jepang tersebut, dengan operasi penyelamatan yang melibatkan tim SAR profesional hingga helikopter evakuasi. Yang membuat kisah ini semakin menggelitik sekaligus memprihatinkan adalah alasan di balik pendakian keduanya yang sangat sepele dan tidak masuk akal. 

Lantas apa yang begitu berharga hingga membuatnya mengabaikan bahaya yang mengancam? Berikut rangkuman lengkapnya, yang telah Liputan6.com langsir dari SoraNews, pada Selasa (29/8).

Mulai dari gunung sampah di Pasar Gedebage hingga larangan bawa HP untuk siswa di Bandung di News Flash Liputan6.com.

Penyelamatan Pertama: Terjebak di Puncak

Kisah ini bermula pada tanggal 22 April ketika sang mahasiswa melakukan pendakian di Gunung Fuji. Saat berada di dekat puncak gunung, pria tersebut tiba-tiba mendapati dirinya dalam situasi berbahaya. Dia kehilangan crampon (alat bantu panjat es) yang sangat vital untuk pendakian di permukaan bersalju dan berbatu, membuatnya tidak mampu melanjutkan perjalanan turun.

Tidak hanya kehilangan peralatan penting, pendaki tersebut juga mulai mengalami gejala mual yang merupakan indikasi penyakit ketinggian (altitude sickness). Kombinasi kehilangan peralatan vital dan kondisi kesehatan yang memburuk membuatnya terpaksa menghubungi layanan darurat untuk meminta bantuan. Situasi ini sangat serius sehingga tim penyelamat dari Prefektur Yamanashi harus mengerahkan helikopter untuk proses evakuasi.

Proses evakuasi dengan helikopter bukanlah hal sederhana, apalagi di medan sesulit Gunung Fuji dengan ketinggian mencapai 3.776 meter. Diperlukan keahlian khusus, peralatan canggih, dan koordinasi tim yang sempurna untuk memastikan keselamatan pendaki dan tim penyelamat. Belum lagi biaya operasional yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh otoritas setempat.

Setelah diselamatkan dengan cara yang dramatis tersebut, kebanyakan orang mungkin akan bersyukur atas keselamatan mereka dan menjadikan pengalaman ini sebagai pelajaran berharga. Namun, tidak demikian dengan mahasiswa ini. Alih-alih belajar dari pengalaman, dia justru merencanakan pendakian kedua dalam waktu singkat, keputusan yang kemudian terbukti sangat berbahaya.

Penyelamatan Kedua: Kembali Terjebak demi Ponsel

Hanya empat hari setelah penyelamatan pertama, tepatnya pada tanggal 26 April, pria yang sama kembali mendaki Gunung Fuji. Tujuannya sangat sederhana namun berisiko tinggi—mencari ponsel yang tertinggal atau terjatuh selama pendakian pertamanya. Keputusan ini ternyata berujung pada situasi yang nyaris identik dengan pengalaman pertamanya.

Sekitar pukul 12:50 siang, Kepolisian Prefektur Shizuoka menerima laporan tentang seorang pendaki yang kolaps di sisi Gunung Fuji, dekat dengan pos kedelapan Jalur Fujinomiya yang mengarah ke puncak. Tim penyelamat segera diorganisir dan dikirim ke lokasi. Mereka menemukan pendaki yang sama, mahasiswa berusia 27 tahun tersebut, pada ketinggian sekitar 3.250 meter.

Tim penyelamat berhasil membawa pria tersebut turun sebagian menuju pos kelima jalur pendakian, sekitar 850 meter lebih rendah dari tempat dia ditemukan. Petugas pemadam kebakaran yang menanganinya kemudian mendiagnosis bahwa dia menderita penyakit ketinggian, kondisi yang sama seperti yang dialaminya beberapa hari sebelumnya. Beruntung, berkat respons cepat dari tim penyelamat dan tenaga medis, nyawa pria tersebut tidak dalam bahaya.

Yang membuat situasi ini lebih memalukan adalah fakta bahwa operasi penyelamatan kedua dilakukan oleh tim dari Prefektur Shizuoka, bukan Yamanashi seperti sebelumnya. Ini setidaknya menghindarkan pendaki tersebut dari rasa malu ketika penyelamatnya bereaksi, "Tunggu, kamu lagi?"

Bahaya Mendaki di Luar Musim Resmi

Keputusan untuk mendaki Gunung Fuji di luar musim pendakian resmi merupakan kesalahan besar yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut. Musim pendakian resmi Gunung Fuji baru dimulai pada bulan Juli, namun pria ini nekat mendaki pada bulan April ketika kondisi gunung masih sangat berbahaya dan fasilitas pendukung tidak beroperasi.

Banyak orang mungkin meremehkan pentingnya mendaki hanya pada musim resmi, dengan anggapan bahwa gunung selalu ada sepanjang tahun. Namun, mendaki di luar musim resmi berarti sebagian besar fasilitas, terutama yang berada di ketinggian, tidak memiliki staf. Pusat medis dan pondok/penginapan gunung ditutup di luar musim, sehingga jika terjadi sesuatu yang buruk, pendaki akan terisolasi dan terpapar elemen alam sambil menunggu bantuan yang akan memakan waktu lebih lama.

Di Jepang, ada pepatah kuno yang mengatakan bahwa seseorang bijak jika mendaki Gunung Fuji sekali dalam hidupnya, karena keindahan dan simbolismenya bagi Jepang. Namun, orang tersebut dianggap bodoh jika mendakinya dua kali, mengingat perjalanan ke puncak yang panjang dan melelahkan. Mencoba mendakinya untuk kedua kalinya hanya untuk mencari ponsel adalah jenis kebodohan yang sangat khusus.

Jika pria tersebut masih bersikeras untuk kembali untuk ketiga kalinya, menunggu hingga Juni adalah pilihan yang paling bijaksana, terutama karena sistem reservasi online untuk musim pendakian sudah dibuka. Dengan begitu, keselamatannya lebih terjamin dan tidak perlu menghabiskan sumber daya tim penyelamat untuk operasi yang sebenarnya dapat dihindari.

Read Entire Article
Photos | Hot Viral |