Bola.com, Jakarta Hamdan Hamedan, yang merupakan Staf Ahli Menteri Pemuda dan Olahraga, menyatakan bahwa program naturalisasi untuk pemain diaspora asal Belanda tidak direncanakan untuk jangka panjang. Menurutnya, "program naturalisasi pemain-pemain diaspora yang berasal dari Belanda tidak akan menjadi program jangka panjang." Alasan di balik keputusan ini adalah karena, berdasarkan sejarah dan aturan FIFA, Indonesia hanya memiliki waktu sekitar sepuluh tahun lagi untuk menemukan pemain keturunan dari Eropa.
Sejarah menunjukkan bahwa banyak pemain diaspora keturunan Indonesia yang saat ini berada di Belanda adalah hasil dari repatriasi masyarakat Indo ke Belanda antara tahun 1940 hingga 1950-an. Pergerakan besar-besaran ini telah menghasilkan sejumlah pemain diaspora yang kini memperkuat Timnas Indonesia. Pemain-pemain tersebut memiliki garis keturunan Indonesia dari kakek atau nenek mereka yang lahir pada masa Hindia Belanda.
Menurut aturan FIFA, pemain yang memenuhi syarat naturalisasi adalah mereka yang memiliki orang tua atau kakek-nenek yang lahir di negara terkait. Hal ini memastikan bahwa, "Jika mengacu regulasi FIFA, syarat ini dianggap eligible atau memenuhi persyaratan." Oleh karena itu, pemain diaspora yang memiliki kakek-nenek yang lahir di Indonesia dapat memenuhi syarat untuk menjadi pemain naturalisasi.
Waktu yang Tersisa Hanya 10 Tahun
Hamdan mengungkapkan bahwa program naturalisasi untuk pemain diaspora yang tersebar di Eropa saat ini sedang berada pada puncaknya. Kesempatan tersebut diperkirakan hanya akan bertahan selama 10 tahun ke depan.
Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa mayoritas pemain keturunan Indonesia di Belanda telah mencapai batas generasi. Mereka umumnya mendapatkan darah Indonesia dari generasi kakek dan nenek mereka.
“Jadi, untuk pemain diaspora di Belanda, kita mungkin punya waktu tinggal 10 tahun lagi. Karena migrasi yang dilakukan tahun 1940 hingga 1950, mereka itu kemudian punya anak pada tahun 1970,” ujar Hamdan dalam kanal YouTube Justinus Lhaksana.
“Setelah itu, pada rentang waktu 2000-2010, mereka punya cucu. Sehingga, ini sebetulnya menjadi batas terakhir dari pencarian pemain naturalisasi di Belanda,” lanjut eks Direktur Eksekutif Indonesian Diaspora Network itu.
Ubah Pendekatan Strategis
Melihat kondisi saat ini, Hamdan menjelaskan bahwa tim riset diaspora di Kemenpora telah mulai mengubah strategi untuk mengoptimalkan potensi para pemain diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai belahan dunia. Fokus utama saat ini adalah memantau para pemain diaspora dari negara lain. Sebab, sebenarnya masih banyak pemain keturunan Indonesia generasi pertama yang masih memiliki paspor Indonesia. Ini menjadi peluang besar bagi pengembangan bakat dan kemampuan pemain-pemain tersebut.
“Nah, makanya tim riset diaspora kami sudah tahu. Kami harus mulai memindahkan fokusnya ke negara lainnya, misalnya, ke Australia. Sebab, mereka ini masih berstatus sebagai first generation,” ujar dia. Tim riset menyadari pentingnya memperluas jangkauan pemantauan ke negara-negara seperti Australia, karena banyak pemain keturunan Indonesia yang masih terhubung secara langsung. Ini memungkinkan mereka untuk tetap memiliki ikatan dengan tanah air melalui paspor Indonesia yang dimiliki.
“Apalagi yang lahir setelah tahun 2006, seperti Matthew Baker, Tim Bakker, hingga Lucas Lee yang ada di Amerika Serikat. Mereka ini sejak lahir sudah punya dua paspor, sehingga kita tidak berkutat pada naturalisasi. Sekarang, kami mulai berkutat dengan istilahnya anak berkewarganegaraan ganda terbatas.”
Pemain-pemain ini, yang lahir setelah tahun 2006, memiliki keistimewaan dengan memiliki dua kewarganegaraan. Hal ini membuka peluang baru bagi pengembangan bakat mereka tanpa harus melalui proses naturalisasi yang rumit. Ini adalah langkah strategis untuk memanfaatkan potensi dari anak-anak berkewarganegaraan ganda.
Pemain dengan Kewarganegaraan Ganda
Hamdan menyatakan bahwa secara hukum, atlet diaspora Indonesia yang memiliki kewarganegaraan ganda dapat diizinkan. Oleh karena itu, mereka dapat dipanggil kapan saja untuk memperkuat tim Indonesia jika diperlukan.
Contoh kasus dari anak-anak yang memiliki kewarganegaraan ganda terbatas adalah Matthew Baker yang masuk dalam skuad Timnas Indonesia U-17, serta Welber Jardim yang bergabung dengan Timnas U-20. Mereka tidak perlu melewati proses naturalisasi karena masih memegang paspor Indonesia.
“Pak Menpora mengatakan kepada saya, sekarang fokusnya mencari atlet Indonesia sebanyak mungkin lintas cabor. Dan diutamakan bisa memperkuat Indonesia tanpa proses naturalisasi,” ujar Hamdan menjelaskan.
“Jadi, dengan kata lain ABG, anak berkewarganegaraan ganda terbatas, yang punya paspor Indonesia tanpa naturalisasi, dan bisa punya paspor Indonesia sampai usia 18 tahun plus tiga tahun,” lanjutnya.
Keberadaan anak-anak dengan kewarganegaraan ganda ini memberikan keuntungan bagi Indonesia dalam mencari bakat-bakat potensial di berbagai cabang olahraga. Dengan memanfaatkan status kewarganegaraan ganda ini, Indonesia dapat memperkuat tim nasionalnya tanpa harus melalui proses yang rumit seperti naturalisasi.
Ini menjadi strategi yang efektif dalam meningkatkan daya saing Indonesia di kancah internasional. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk mengidentifikasi dan merekrut sebanyak mungkin atlet yang memenuhi kriteria ini, demi kejayaan olahraga Indonesia di masa depan.
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang menggunakan Artificial Intelligence dari Bola.com