Liputan6.com, Jakarta Ketika masyarakat mulai bertanya-tanya tentang kapan malam 1 Suro, biasanya suasana batin ikut berubah menjadi lebih khusyuk dan tenang. Bukan sekadar pergantian tanggal dalam kalender Jawa, malam ini sarat dengan nilai spiritual serta refleksi mendalam mengenai kehidupan. Banyak orang Jawa memperlambat aktivitas harian mereka, demi menyambut momen ini dengan sikap penuh hormat dan kehati-hatian.
Menjelang kapan malam 1 Suro akan jatuh, berbagai tradisi mulai dipersiapkan secara perlahan. Di sejumlah daerah, kegiatan seperti tirakatan, ziarah ke makam leluhur, hingga upacara adat menjadi rutinitas tahunan yang ditunggu-tunggu. Meski masing-masing wilayah memiliki ragam kebiasaan berbeda, tujuan utamanya tetap sama, yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan dan menyucikan diri secara batiniah.
Pertanyaan mengenai kapan malam 1 Suro juga menandakan pentingnya warisan budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa. Tidak sedikit keluarga yang menjadikannya sebagai waktu untuk berkumpul, bermuhasabah, serta mempererat hubungan antargenerasi melalui cerita-cerita leluhur. Ini menjadi bukti bahwa malam 1 Suro bukan hanya peristiwa kalender, tetapi juga momen sakral untuk menjaga keharmonisan lahir dan batin.
Di balik pencarian informasi tentang kapan malam 1 Suro, tersimpan pesan moral dan filosofi kehidupan yang dalam. Malam ini mengajarkan pentingnya kesederhanaan, ketenangan hati dan rasa syukur atas segala perjalanan hidup. Berikut penjelasan lengkap mulai dari sejarah dan serba-serbi malam 1 Suro (tahun Jawa 1959) yang Liputan6.com rangkum dari berbagia sumber pada Senin (23/6/2025).
Malam 1 Suro 2022 atau 1 Muharram 1444 H jatuh pada 29 Juli 2022, menandakan awal tahun baru penanggalan Islam dan Jawa. Malam 1 Suro juga dipercaya sebagai waktu munculnya lelembut ke alam manusia. Untuk itu, ada sejumlah pantangan bagi masyarakat J...
Asal Usul Penanggalan Jawa dan Nilai Spiritualitasnya
Penetapan kalender Jawa berakar pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, salah satu raja besar dari Kesultanan Mataram Islam. Pada sekitar tahun 1633 Masehi, atau dalam hitungan penanggalan Jawa disebut tahun 1555, Sultan Agung memperkenalkan sistem penanggalan baru yang dikenal sebagai Kalender Jawa. Langkah besar ini dilakukan sebagai upaya untuk menyelaraskan budaya lokal dengan pengaruh spiritual dan keagamaan yang saat itu berkembang pesat, khususnya Islam.
Sistem kalender ini merupakan perpaduan unik antara kalender Hijriah yang mengacu pada peredaran bulan, kalender Gregorian (Masehi) yang berbasis matahari, serta unsur-unsur tradisional dari sistem penanggalan Hindu-Jawa. Penggabungan ketiga unsur tersebut mencerminkan upaya Sultan Agung dalam menjaga keseimbangan antara nilai-nilai adat dan ajaran agama Islam yang mulai melekat kuat dalam masyarakat Jawa. Melalui sistem tersebut, Sultan Agung ingin menghadirkan tata waktu yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga memiliki makna spiritual dan kultural yang mendalam bagi rakyatnya.
Dalam kalender Jawa, 1 Suro adalah hari pertama di tahun baru Jawa yang sangat dihormati dan dianggap memiliki nilai spiritual yang tinggi. Tahun Jawa sendiri menggunakan sistem penanggalan yang menggabungkan unsur kalender Islam (Hijriah) dengan kalender Hindu-Jawa, sehingga perhitungannya berbeda dengan kalender masehi yang umum kita gunakan sehari-hari. Pada tahun 2025, 1 Suro bertepatan dengan 1 Muharram 1447 Hijriah, yaitu Sabtu, 28 Juni 2025. Karena dalam tradisi Jawa hari baru dimulai sejak matahari terbenam (bukan pukul 00.00 seperti di kalender masehi), maka malam 1 Suro dimulai pada Jumat malam, 27 Juni 2025, setelah waktu Maghrib.
Malam 1 Suro memiliki tempat yang sangat istimewa dalam tradisi dan keyakinan masyarakat Jawa. Malam ini bukan sekadar penanda awal tahun dalam hitungan kalender lokal, tetapi lebih jauh lagi dipandang sebagai waktu yang penuh energi spiritual dan kekuatan mistis. Oleh karena itu, tidak sedikit masyarakat yang menyambut malam ini dengan hati penuh kehati-hatian dan rasa khidmat.
Ragam tradisi diwariskan secara turun-temurun, mulai dari ziarah ke makam leluhur, laku tirakat, hingga ritual penyucian benda pusaka. Semuanya dilakukan dengan harapan dapat menyucikan diri dari segala hal negatif dan membuka lembaran baru yang lebih baik secara spiritual. Kapan malam 1 Suro tiba maka suasana desa hingga kota berubah menjadi lebih tenang dan sakral. Banyak orang lebih memilih berdiam diri, merenungi perjalanan hidup, serta berdoa dalam kesunyian malam demi mencari keseimbangan batin.
Tradisi Penting dalam Menyambut Malam 1 Suro
1. Ziarah ke Makam Leluhur
Salah satu tradisi yang hampir tidak pernah absen dalam peringatan malam 1 Suro adalah ziarah ke makam para leluhur. Kegiatan ini dilakukan dengan penuh ketulusan dan doa, sebagai bentuk penghormatan terhadap mereka yang telah mendahului. Tradisi ziarah ini diyakini mampu mempererat ikatan batin antara keturunan dan leluhurnya, sekaligus menjadi pengingat akan asal-usul kehidupan manusia atau falsafah Jawa "Sangkan Paraning Dumadi."
2. Larung Sesaji
Prosesi larung sesaji merupakan salah satu ritual khas dalam menyambut datangnya malam 1 Suro, terutama di wilayah pesisir atau daerah yang dekat dengan sumber air. Dalam ritual ini, masyarakat melarungkan berbagai bentuk persembahan ke laut, sungai, atau mata air suci. Isi sesaji biasanya berupa aneka makanan tradisional, bunga, dan simbol-simbol lain yang melambangkan rasa syukur kepada alam. Larung juga dipercaya sebagai bentuk permohonan perlindungan dari bencana atau energi negatif.
3. Siraman dan Tirakat
Siraman atau mandi dengan air bunga tujuh rupa menjadi simbol penyucian diri, baik secara fisik maupun spiritual. Proses ini dilakukan menjelang malam 1 Suro, sebagai bentuk pembersihan batin dari segala kekotoran jiwa dan pikiran. Setelah siraman, biasanya dilanjutkan dengan berbagai bentuk tirakat seperti puasa, menyepi, atau tapa bisu yaitu sebuah laku spiritual tanpa berbicara selama malam berlangsung.
4. Kirab dan Jamasan Pusaka
Di lingkungan keraton seperti Yogyakarta atau Surakarta, malam 1 Suro dimeriahkan dengan prosesi kirab pusaka. Dalam tradisi ini, berbagai benda pusaka peninggalan kerajaan dibersihkan melalui ritual jamasan, kemudian diarak mengelilingi kawasan keraton. Prosesi ini melambangkan pentingnya pelestarian warisan budaya sekaligus upaya menjaga kesinambungan spiritualitas antara masa lalu dan masa kini.
Larangan dan Pantangan dalam Menyambut Malam 1 Suro
Selain diramaikan oleh beragam ritual sakral, malam 1 Suro juga dikenal dengan sejumlah larangan dan pantangan yang masih dipegang teguh oleh banyak kalangan. Kepercayaan ini bukan tanpa dasar, karena malam tersebut diyakini sebagai saat terbukanya pintu-pintu antara alam manusia dan dimensi gaib. Maka dari itu, masyarakat sangat berhati-hati dalam bersikap, demi menjaga keselamatan dan ketenangan jiwa.
Beberapa pantangan umum yang sering dihindari antara lain:
- Menghindari pernikahan, karena dianggap bisa membawa malapetaka atau kesialan dalam rumah tangga.
- Tidak dianjurkan membangun rumah atau pindah tempat tinggal, karena diyakini akan mengganggu energi alam.
- Menjauhi keramaian dan pesta, sebagai bentuk penghormatan terhadap malam suci ini.
- Melaksanakan tapa bisu, yaitu tidak berbicara atau mengeluarkan suara sepanjang malam demi menjaga kemurnian niat spiritual. Kegiatan ini dipercaya sebagai bentuk kesungguhan dalam menjalani proses pembersihan batin.
- Tidak keluar rumah tanpa keperluan mendesak, karena diyakini energi negatif dan makhluk gaib berkeliaran lebih aktif pada malam tersebut. Karena itu, mengurung diri di rumah dan memperbanyak ibadah dianggap sebagai bentuk perlindungan sekaligus penghormatan terhadap malam suci ini.
Larangan-larangan ini mencerminkan filosofi masyarakat Jawa dalam memaknai malam 1 Suro sebagai saat untuk menahan diri, menundukkan ego, dan mengisi hati dengan kesadaran spiritual. Bukan sekadar pantangan kosong, tetapi bentuk penghayatan terhadap kesakralan waktu, sekaligus sebagai upaya melindungi diri dari hal-hal yang tidak diinginkan.
FQA Seputar Topik
1. Apa itu malam 1 Suro dalam tradisi Jawa?
Jawaban: Malam 1 Suro adalah malam pergantian tahun dalam penanggalan kalender Jawa. Tanggal ini setara dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah dan dianggap sebagai momen sakral bagi masyarakat Jawa. Malam tersebut sering dijadikan waktu untuk melakukan perenungan, tirakatan, serta berbagai ritual spiritual.
2. Kapan malam 1 Suro biasanya diperingati?
Jawaban: Malam 1 Suro tidak memiliki tanggal tetap dalam kalender Masehi karena mengikuti perhitungan kalender Hijriah yang berbasis bulan. Pada tahun 2025, malam 1 Suro (tahun Jawa 1959) diperingati pada Kamis malam, 26 Juni 2025, karena 1 Suro jatuh pada hari Jumat, 27 Juni 2025. Tanggal ini juga bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H.
3. Mengapa malam 1 Suro dianggap penting dalam budaya Jawa?
Jawaban: Malam 1 Suro memiliki makna spiritual yang dalam. Masyarakat Jawa percaya bahwa malam ini adalah waktu terbaik untuk menyucikan diri, berdoa, dan mempererat hubungan dengan leluhur. Banyak yang meyakini bahwa pada malam tersebut, energi alam dan dunia gaib berada dalam kondisi paling aktif, sehingga perlu dihormati dengan laku batin yang khusyuk.
4. Apa perbedaan antara malam 1 Suro dan tahun baru Masehi?
Jawaban: Tahun baru Masehi umumnya dirayakan dengan pesta dan perayaan meriah, sementara malam 1 Suro disambut dengan suasana hening dan penuh perenungan. Malam 1 Suro lebih ditekankan pada aspek spiritual dan keheningan batin, berbeda dengan euforia pergantian tahun ala barat.
5. Apakah semua orang Jawa menjalankan ritual malam 1 Suro?
Jawaban: Tidak semua masyarakat Jawa mengikuti ritual malam 1 Suro, karena tingkat kepercayaan dan praktik budaya berbeda-beda tergantung wilayah, keluarga, dan keyakinan masing-masing. Namun secara umum, malam ini tetap dihormati dan diakui sebagai malam penting dalam tradisi Jawa.