Liputan6.com, Jakarta Bulan Suro bagi masyarakat Jawa bukan sekadar pergantian kalender, melainkan momentum yang sarat makna spiritual, tradisi, dan pantangan. Di tengah kehidupan modern, kesakralan bulan ini masih hidup, terutama melalui berbagai ritual dan larangan yang dijaga turun-temurun. Bagi banyak orang Jawa, Suro bukan hanya awal tahun baru Jawa, tetapi juga saat terbaik untuk merenung dan melakukan pembersihan batin.
Tradisi yang mengakar dalam budaya ini menjadikan bulan Suro sebagai waktu hening dan penuh kontemplasi. Pantangan menikah, pindah rumah, hingga bepergian jauh sering dikaitkan dengan keyakinan bahwa bulan ini membawa energi gaib atau rawan kesialan. Namun, di sisi lain, Suro juga menjadi momentum untuk mempererat hubungan spiritual dengan Tuhan melalui tirakat, tapa bisu, dan doa.
Lalu sebenarnya, bulan suro sampai tanggal berapa di 2025? Apa makna terdalam dari bulan ini dalam perspektif budaya Jawa dan ajaran Islam? Liputan6.com akan mengupas secara tuntas, mulai dari tanggal berlangsungnya bulan Suro 2025, hingga makna filosofisnya yang masih terus dijaga dan diwariskan, Rabu (26/6/2025).
Ritual Muji Kamis Wage Jumat Kliwon Kejawen di Pasemuan Lor, Kalikudi Cilacap
Bulan Suro 2025 Dimulai Tanggal Berapa dan Sampai Kapan?
Bulan Suro 2025 dalam kalender Jawa berlangsung mulai tanggal 27 Juni 2025 dan akan berakhir pada tanggal 25 Juli 2025. Tanggal ini didasarkan pada sinkronisasi kalender Jawa yang menggunakan sistem lunar (bulan), sebagaimana kalender Hijriah dalam Islam.
Tanggal 1 Suro tahun 1959 Jawa bertepatan dengan 1 Muharram 1447 Hijriah, menjadikannya sebagai awal tahun baru Jawa. Masyarakat Jawa, terutama yang tinggal di daerah dengan pengaruh kuat budaya Keraton seperti Yogyakarta dan Surakarta, sangat memperhatikan tanggal-tanggal di bulan ini karena dianggap sakral dan penuh rahmat. Oleh sebab itu, banyak kegiatan besar ditunda selama bulan ini berlangsung.
Makna Bulan Suro dalam Budaya Jawa
Dalam budaya Jawa, bulan Suro menempati posisi istimewa. Ia bukan sekadar bulan pembuka tahun baru Jawa, tetapi juga bulan penuh kontemplasi dan keheningan. Sebagaimana ditulis oleh Wahyana Giri MC dalam buku Sajen dan Ritual Orang Jawa), kalangan Keraton memaknai bulan Suro sebagai bulan suci yang harus digunakan untuk introspeksi dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tradisi keraton seperti Tapa Bisu Mubeng Beteng, yaitu mengelilingi benteng keraton dalam diam, menjadi simbol perenungan diri. Selain itu, masyarakat juga melakukan tirakat, kungkum (berendam dalam air), kirab budaya, dan pencucian pusaka sebagai bentuk spiritualitas yang berakar pada tradisi leluhur.
Namun, bulan ini juga dikelilingi oleh berbagai mitos dan larangan. Misalnya:
- Menikah di bulan Suro dianggap pamali.
- Pindah rumah atau bepergian jauh sering dihindari karena dikhawatirkan membawa sial.
- Acara hajatan besar seperti sunatan atau peresmian bangunan biasanya ditunda hingga bulan berikutnya.
Meski mitos dan pantangan ini mulai bergeser dalam generasi muda, tradisi dan nilai-nilai penghormatan terhadap waktu sakral tetap dijaga.
Makna Bulan Suro dalam Islam
Dalam Islam, bulan Suro identik dengan bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriah. Secara etimologis, kata “Suro” berasal dari kata Arab ‘Asyura yang berarti “sepuluh”, merujuk pada tanggal 10 Muharram yang memiliki nilai sejarah penting dalam Islam.
Muharram termasuk salah satu dari empat bulan haram (suci) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 36. Bulan ini dimuliakan karena banyak peristiwa agung dalam sejarah para nabi terjadi di bulan ini, seperti:
- Nabi Adam diterima taubatnya,
- Nabi Nuh selamat dari banjir besar,
- Nabi Musa diselamatkan dari kejaran Firaun,
- Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu-wahyu penting.
Dalam Islam, bulan Muharram seharusnya diisi dengan amalan baik, seperti puasa Tasu’a dan Asyura, bersedekah, dan menyantuni anak yatim. Sayangnya, sebagian masyarakat masih mencampuradukkan ajaran Islam dengan mitos mistik seperti datang ke tempat keramat untuk mencari pesugihan atau awet muda.
Dalam sebuah tulisan di tazkia.ac.id dijelaskan, para ulama menegaskan bahwa tidak ada hari sial dalam Islam. Sebaliknya, bulan Muharram adalah waktu terbaik untuk berprasangka baik pada Allah dan meningkatkan ibadah. “Hari jelek hanyalah saat kita bermaksiat,” ujar Buya Yahya dalam salah satu kajiannya.
FAQ tentang Bulan Suro
1. Apakah bulan Suro sama dengan bulan Muharram dalam Islam?
Secara kalender, ya. Bulan Suro dalam penanggalan Jawa bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Hijriah. Namun, konteks budaya dan religiusnya bisa berbeda.
2. Kenapa orang Jawa menghindari menikah di bulan Suro?
Karena bulan ini dianggap bulan sakral dan penuh pantangan. Banyak orang Jawa percaya bahwa menggelar hajatan besar di bulan ini bisa membawa sial.
3. Apa saja amalan yang dianjurkan selama bulan Suro dalam Islam?
Amalan yang dianjurkan antara lain puasa sunnah Tasu’a dan Asyura (tanggal 9 dan 10 Muharram), bersedekah, dan menyantuni anak yatim.
4. Apakah mitos tentang bulan Suro bertentangan dengan ajaran Islam?
Sebagian besar mitos seperti larangan keluar rumah di malam 1 Suro atau ritual pesugihan tidak memiliki dasar dalam Islam dan dapat dianggap sebagai bentuk penyimpangan. Islam menekankan bahwa semua hari itu baik, tergantung dari amal perbuatan manusia.