Liputan6.com, Jakarta Pernahkah kamu membayangkan bagaimana rasa nasi yang dimakan oleh nenek moyang ribuan tahun lalu? Beberapa mahasiswa di Tiongkok baru-baru ini berhasil menghidupkan kembali resep nasi kuno berusia 2.000 tahun berdasarkan manuskrip kuno yang ditemukan di makam seorang pejabat senior pada masa Dinasti Han Barat.
Menariknya, resep nasi kuno ini ternyata menghasilkan tekstur dan rasa yang tidak hanya unik tetapi juga lebih sehat dibandingkan cara memasak nasi modern yang kita kenal sekarang. Manuskrip "Shi Fang" menjadi kunci utama dalam penelitian ini, memberikan petunjuk detail tentang berbagai metode persiapan dan pemasakan bahan makanan pada jaman dahulu.
Tim mahasiswa dari Akademi Yuelu di Universitas Hunan berhasil menginterpretasikan resep nasi kuno ini melalui proyek yang menggabungkan penelitian sejarah dan eksperimen kuliner. Hasilnya mengejutkan banyak pihak karena menunjukkan bahwa orang-orang pada masa Dinasti Han sudah memiliki pengetahuan kuliner yang canggih.
Lebih jelasnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum informasi lengkapnya pada Rabu (7/5).
Banyak tantangan di masa pandemi Covid-19, tapi bukan berarti tak ada peluang. Albert Mardiyanto Robot, dia berhenti sebagai koki di hotel bintang 5 dan memilih jualan nasi kebuli. Tak sekedar meraup untung, ia justru mempekerjakan karyawan yang teri...
Manuskrip Kuno yang Menginspirasi
Manuskrip "Shi Fang" adalah teks kuno yang ditulis pada potongan-potongan bambu dan berasal dari masa Dinasti Han Barat (202 SM-8 M). Dokumen berharga ini ditemukan di makam Wu Yang, seorang pejabat senior pada masa Dinasti Han di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Yuanling di Provinsi Hunan. Manuskrip ini berisi detail lengkap tentang berbagai metode memasak dan menyiapkan berbagai bahan makanan, termasuk nasi, sup ayam, dan ikan kukus.
Luo Jiayi, seorang mahasiswa dari Universitas Hunan, pertama kali menemukan manuskrip ini dalam kursus "Budaya Kuliner di Hunan". Dia menyatakan bahwa melalui potongan bambu yang hidup dan menarik, para kuliner kuno dari 2.000 tahun lalu seolah menjadi hidup di depan matanya. Ini menunjukkan bahwa dokumen sejarah tidak hanya bernilai sebagai artifak, tetapi juga sebagai jendela yang membuka wawasan tentang kehidupan sehari-hari pada masa lampau.
Namun, tim peneliti menghadapi tantangan besar dalam menafsirkan manuskrip ini. Banyak potongan bambu yang terfragmentasi, dan makna beberapa karakter kuno telah berevolusi dari waktu ke waktu. Selain itu, detail penting seperti durasi memasak tidak disebutkan dalam manuskrip, sehingga tim harus terus menyesuaikan eksperimen mereka selama penelitian. Meskipun demikian, tantangan ini justru membuat proyek semakin menarik dan memberi ruang bagi interpretasi kreatif.
Proyek ini melibatkan tim interdisipliner yang terdiri dari 10 mahasiswa dari Universitas Hunan dan satu dari Universitas Pertanian Tiongkok di Beijing. Mereka memiliki latar belakang beragam, termasuk sejarah, filosofi, museologi, ilmu pangan, dan desain. Tim dibagi menjadi kelompok penelitian, eksperimen, pembuatan film, dan desain, dengan tujuan tidak hanya menafsirkan teks kuno tetapi juga menghidupkan kembali cita rasa dari masa lalu.
Tantangan Merekonstruksi Resep Kuno
Merekonstruksi resep berusia 2.000 tahun bukanlah pekerjaan mudah. Kondisi modern yang sangat berbeda dengan jaman dahulu menjadi tantangan utama bagi tim peneliti. Varietas beras, peralatan memasak, dan metode api yang digunakan saat ini berbeda jauh dengan yang ada pada masa kuno. Profesor Shi Jing dari Akademi Yuelu, yang mengawasi proyek ini, mengakui bahwa keaslian sepenuhnya tidak mungkin dicapai, tetapi menggabungkan teknik era Han dengan teknologi modern memungkinkan mahasiswa untuk memanfaatkan kearifan kuno.
Untuk mengatasi perbedaan peralatan, tim memilih untuk menggunakan "zengzi", yaitu pengukus kayu tradisional yang masih digunakan di beberapa desa Tiongkok, alih-alih "yan" kuno yang langka, sebuah wadah khusus untuk mengukus. Panci tanah liat juga digunakan untuk mencapai efek yang sebanding dalam proses memasak mereka. Ini menunjukkan bahwa dengan sedikit improvisasi, kita masih bisa mendekati metode memasak tradisional meskipun tidak memiliki peralatan yang persis sama.
Pemilihan jenis beras juga menjadi pertimbangan penting. Untuk menyesuaikan dengan kualitas dan bentuk beras yang dibudidayakan 2.000 tahun lalu, tim dibantu oleh juru masak ahli He Junxian, memilih jenis beras non-ketan yang menyerupai beras di Hunan pada era Han. Beras modern yang umumnya digunakan saat ini memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga pemilihan beras yang tepat sangat penting untuk mendapatkan hasil yang mendekati aslinya.
Setelah banyak percobaan di bawah bimbingan Chef He, tim akhirnya menyempurnakan proses yang meliputi: merendam beras selama setengah jam sebelum meniriskannya, kemudian mengukusnya selama 20 menit, mengangin-anginkannya hingga dingin, menambahkan air, dan mengukusnya lagi selama 15 menit. Proses yang rumit ini menunjukkan bahwa memasak nasi pada masa lalu bukanlah sekadar memasukkan beras ke dalam panci, tetapi merupakan seni yang membutuhkan ketelitian dan pemahaman mendalam tentang bahan makanan.
Hasil yang Mengejutkan dan Implikasi Modern
Hasil dari eksperimen ini sangat mengejutkan. Beras yang dimasak dengan metode kuno ternyata memiliki karakteristik yang berbeda dengan nasi modern. Nasi hasil eksperimen ini memiliki tekstur yang longgar namun elastis, dengan rasa yang menyenangkan dan yang terpenting, kandungan gula yang jauh lebih rendah. Karakteristik ini selaras dengan tren makan sehat masa kini, menunjukkan bahwa kadang-kadang, kearifan kuno bisa menjadi solusi untuk masalah kontemporer.
Chef He Junxian, yang membantu dalam eksperimen ini, menyatakan bahwa nasi yang dimasak ulang sesuai dengan manuskrip "Shi Fang" mungkin bisa menginspirasi inovasi kuliner baru di restoran kontemporer. Ini menunjukkan bahwa penelitian sejarah kuliner tidak hanya bermanfaat dari perspektif akademis, tetapi juga bisa memberikan kontribusi praktis bagi industri kuliner modern. Metode memasak tradisional bisa menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan hidangan yang lebih sehat dan unik.
Peter Brian Ditmanson, seorang profesor Amerika di Akademi Yuelu, setelah mencicipi nasi yang direkonstruksi, menggambarkannya sebagai "comfort food" atau makanan yang menenangkan. Terpesona oleh proyek ini, Ditmanson mengatakan dia akan mempromosikan inisiatif ini secara global melalui platform seperti TikTok. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun resep ini berusia 2.000 tahun, cita rasanya tetap relevan dan bisa diterima oleh lidah modern.
Tim juga mengungkapkan rencana untuk merekonstruksi penggunaan bahan-bahan lain, seperti daging dan rempah-rempah, berdasarkan manuskrip "Shi Fang". Ini menunjukkan bahwa proyek ini hanyalah langkah awal dalam upaya yang lebih besar untuk memahami dan menghidupkan kembali warisan kuliner Tiongkok kuno. Dengan menggali lebih dalam ke dalam kearifan kuliner masa lalu, kita mungkin menemukan pendekatan baru untuk menyiapkan makanan yang tidak hanya lezat tetapi juga lebih sehat dan berkelanjutan.
Studi tentang resep nasi kuno dari manuskrip "Shi Fang" ini memberikan wawasan berharga tentang sejarah kuliner Tiongkok dan evolusi metode memasak nasi selama dua milenium. Proyek ini menunjukkan bahwa kadang-kadang, solusi untuk masalah kontemporer seperti makanan sehat bisa ditemukan dengan melihat ke masa lalu. Metode memasak nasi yang menghasilkan tekstur elastis dengan kandungan gula lebih rendah mungkin bisa menjadi alternatif menarik bagi mereka yang peduli dengan kesehatan.