Fenomena Scapegoating dalam Masyarakat dan Cara Mengatasinya, Masih Terjadi hingga Kini

1 day ago 11

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena sosial sering memunculkan perilaku manusia dalam menghadapi tekanan, konflik, atau kegagalan. Salah satu bentuknya adalah scapegoating, di mana individu atau kelompok dijadikan sasaran kesalahan untuk menenangkan ketegangan di lingkungan sekitarnya. Praktik ini tidak hanya muncul di lingkungan profesional, tetapi juga dapat terlihat di keluarga, sekolah, atau masyarakat luas.

Penyebab munculnya fenomena scapegoating biasanya terkait ketidakpastian, frustrasi dan kebutuhan untuk mempertahankan citra kelompok. Saat masalah kompleks sulit diselesaikan, anggota cenderung mencari pihak lemah atau lebih rentan sebagai kambing hitam, sehingga kesalahan dialihkan dari sumber sebenarnya. Strategi ini memberikan ilusi kontrol meski sebenarnya merugikan pihak yang disasar.

Dampak fenomena scapegoating terhadap korban sering bersifat psikologis dan emosional. Tekanan, rasa rendah diri, serta stres berkepanjangan dapat muncul ketika seseorang terus-menerus disalahkan tanpa dasar. Lingkungan kerja atau sosial yang terkontaminasi praktik ini akan kehilangan kepercayaan dan harmoni, sehingga produktivitas serta kesejahteraan kelompok menurun.

Pencegahan fenomena scapegoating memerlukan kesadaran, komunikasi terbuka dan evaluasi objektif atas setiap masalah yang muncul. Edukasi mengenai dampak perilaku ini dapat meningkatkan empati antar anggota kelompok, sedangkan penyelesaian berbasis data dan fakta mencegah tuduhan sembarangan. Berikut ulasan lengkap yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (8/12/2025).

Fenomena Scapegoating dan Penyebabnya

Fenomena scapegoating merupakan perilaku sosial di mana seseorang atau kelompok dijadikan pihak yang bertanggung jawab atas masalah, kegagalan, atau kesalahan, meskipun mereka tidak sepenuhnya bersalah. Istilah ini berasal dari praktik kuno di mana kambing jantan dipilih sebagai simbol untuk menanggung dosa komunitas, lalu dikirim jauh atau dikorbankan. Dalam konteks modern, scapegoating sering terjadi di lingkungan organisasi, sekolah, maupun hubungan sosial, dan dapat menimbulkan efek psikologis yang serius bagi individu yang menjadi korban.

Berikut beberapa penyebabnya:

1. Tekanan Sosial dan Konflik Kelompok

Salah satu penyebab utama scapegoating muncul adalah tekanan sosial dan konflik internal dalam kelompok. Ketika suatu komunitas menghadapi masalah yang kompleks atau situasi yang penuh ketidakpastian, anggota kelompok cenderung mencari pihak untuk dijadikan kambing hitam. Dengan menuduh individu tertentu, kelompok merasa masalah “terselesaikan” secara simbolis, meskipun akar permasalahan sebenarnya tetap ada.

2. Frustrasi dan Kekecewaan

Ketika target atau tujuan kelompok tidak tercapai, rasa frustrasi dan kekecewaan sering dialihkan kepada individu atau kelompok lain yang lebih lemah atau rentan. Hal ini terjadi karena mencari sasaran lebih mudah daripada menghadapi akar masalah secara objektif. Proses ini sering berlangsung tanpa pertimbangan fakta atau keadilan.

3. Kebutuhan untuk Mempertahankan Harga Diri atau Status

Individu atau kelompok yang merasa terancam posisinya sering menggunakan scapegoating sebagai mekanisme untuk mempertahankan reputasi atau status sosial. Dengan menyalahkan pihak lain, mereka mencoba menutupi kelemahan atau kegagalan sendiri, sehingga citra diri tetap terjaga di mata masyarakat.

4. Ketidakpastian dan Lingkungan yang Kompleks

Situasi yang tidak jelas atau penuh ambiguitas meningkatkan kemungkinan scapegoating. Saat keputusan sulit diambil atau tanggung jawab tersebar, anggota kelompok cenderung menyalahkan orang tertentu agar masalah terlihat terkontrol. Lingkungan kompleks membuat individu lebih mudah mencari “biang masalah” sebagai bentuk coping mechanism.

5. Kurangnya Kepemimpinan dan Pengawasan yang Objektif

Kurangnya arahan, transparansi, atau evaluasi objektif dari pemimpin atau pihak berwenang dapat memperparah fenomena scapegoating. Tanpa pengawasan yang tepat, tuduhan terhadap individu tertentu bisa berkembang menjadi budaya kelompok, di mana menyalahkan orang lain menjadi praktik umum.

Bentuk dan Contoh Scapegoating

1. Bentuk Scapegoating di Lingkungan Kerja

Di lingkungan profesional, scapegoating sering muncul ketika satu karyawan dijadikan pihak yang disalahkan atas kegagalan proyek atau kesalahan tim. Misalnya, jika sebuah tim gagal menyelesaikan target tepat waktu, pimpinan atau rekan kerja mungkin menuding satu orang sebagai penyebab utama, meskipun masalah berasal dari keputusan bersama, kendala sumber daya, atau perencanaan yang kurang matang. Bentuk ini menimbulkan tekanan psikologis, rasa tidak adil, dan menurunkan motivasi kerja korban.

2. Bentuk Scapegoating di Sekolah atau Pendidikan

Dalam konteks sekolah, anak tertentu dapat menjadi kambing hitam atas masalah kelas atau kelompok belajar. Misalnya, jika ujian kelompok gagal, seorang siswa mungkin disalahkan terus-menerus oleh guru atau teman sekelas meski ia hanya bagian kecil dari kelompok. Fenomena ini menimbulkan stres, menurunkan kepercayaan diri, dan memengaruhi prestasi akademik.

3. Bentuk Scapegoating dalam Keluarga

Di ranah keluarga, scapegoating muncul ketika satu anggota keluarga dijadikan target kesalahan atas ketidaksepakatan, konflik rumah tangga, atau masalah keuangan. Contohnya, seorang anak atau menantu mungkin terus-menerus disalahkan atas kegagalan tertentu, sementara anggota lain menghindari tanggung jawab. Pola ini dapat merusak hubungan emosional dan menimbulkan rasa terisolasi bagi korban.

4. Bentuk Scapegoating dalam Politik atau Masyarakat

Fenomena scapegoating juga sering terjadi di dunia politik. Kelompok tertentu bisa dijadikan kambing hitam untuk mengalihkan perhatian publik dari isu utama, seperti kegagalan kebijakan, korupsi, atau krisis sosial. Misalnya, minoritas etnis atau kelompok sosial tertentu disalahkan secara berlebihan oleh media atau politikus untuk meredakan protes masyarakat. Bentuk ini sering memicu konflik lebih besar dan ketidakadilan sosial.

5. Bentuk Scapegoating Online dan Media Sosial

Di era digital, scapegoating juga terjadi secara virtual. Individu atau kelompok tertentu menjadi target kritik, hinaan, atau tuduhan di media sosial, meskipun mereka tidak bertanggung jawab penuh. Fenomena ini dapat menyebar dengan cepat, menciptakan tekanan psikologis ekstrem, dan merusak reputasi korban secara signifikan.

Cara Mengatasi Fenomena Scapegoating

  • Langkah pertama adalah memahami dan mengenali perilaku scapegoating sejak dini. Ciri-ciri umum termasuk adanya individu yang selalu disalahkan, kritik berlebihan tanpa dasar, atau penyaluran frustrasi kelompok kepada pihak tertentu. Dengan kesadaran ini, anggota kelompok atau organisasi dapat segera mengambil tindakan sebelum praktik tersebut menjadi budaya yang merugikan.
  • Komunikasi yang jelas dan terbuka antara semua pihak sangat penting untuk mencegah scapegoating. Setiap masalah atau kegagalan harus dibahas berdasarkan fakta dan data, bukan asumsi atau tuduhan pribadi. Pertemuan rutin atau diskusi kelompok yang terstruktur membantu semua anggota memahami tanggung jawab masing-masing sehingga kesalahan tidak dialihkan secara tidak adil.
  • Menggunakan metode evaluasi berbasis bukti untuk menilai kesalahan sangat efektif. Penilaian harus dilakukan secara objektif, menimbang faktor individu dan kolektif. Dengan cara ini, penyelesaian masalah fokus pada akar penyebab, bukan mencari kambing hitam. Evaluasi yang adil juga meningkatkan kepercayaan dan keharmonisan kelompok.
  • Korban scapegoating sering mengalami tekanan emosional dan stres berkepanjangan. Dukungan psikologis berupa konseling, mentoring, atau bimbingan profesional membantu korban menghadapi tekanan, memulihkan kepercayaan diri, dan mencegah dampak jangka panjang pada kesehatan mental. Lingkungan yang peduli dan empatik juga mengurangi risiko berulangnya fenomena ini.
  • Mengganti pola menyalahkan individu dengan budaya tanggung jawab kolektif dapat mencegah scapegoating. Setiap anggota kelompok harus diajarkan bahwa kegagalan merupakan hasil keputusan dan tindakan bersama. Dengan menumbuhkan budaya ini, individu lebih fokus pada solusi dan perbaikan daripada mencari pihak untuk disalahkan.
  • Edukasi tentang fenomena scapegoating, dampak psikologis, dan strategi pencegahan perlu diberikan kepada anggota organisasi, sekolah, atau keluarga. Pelatihan ini meningkatkan kesadaran, empati, dan kemampuan manajemen konflik, sehingga praktik scapegoating dapat diminimalkan secara signifikan.

FAQ Seputar Topik

Apa itu fenomena scapegoating?

Fenomena scapegoating adalah praktik menuduh dan memperlakukan negatif seseorang atau kelompok secara tidak adil, seringkali untuk mengalihkan kesalahan dari masalah yang sebenarnya.

Mengapa individu atau kelompok melakukan scapegoating?

Scapegoating berakar pada ketakutan, rasa tidak aman, dan kebutuhan untuk mengalihkan tanggung jawab atau menciptakan keteraturan dari kekacauan, seringkali saat menghadapi krisis atau kesulitan.

Bagaimana dampak scapegoating terhadap korban?

Korban scapegoating dapat mengalami tekanan emosional, harga diri rendah, isolasi, dan masalah kesehatan mental karena disalahkan secara tidak adil.

Apa pemicu utama terjadinya scapegoating dalam masyarakat?

Pemicu utama scapegoating adalah kondisi sosial-ekonomi yang sulit, ketidakpastian, konflik, serta dinamika kekuasaan dan bias yang menargetkan kelompok rentan.

Bagaimana cara mengatasi fenomena scapegoating?

Mengatasi scapegoating membutuhkan pendekatan multi-level, termasuk mengembangkan empati, analisis rasional, tindakan kolektif, literasi media, serta dukungan psikologis.

Read Entire Article
Photos | Hot Viral |