Liputan6.com, Jakarta Dari sebuah garasi sederhana di Yogyakarta, Aljuliano Pandanbara atau yang akrab disapa Nino dan Keket, mengirimkan suara Indonesia ke lima benua melalui kotak-kotak efek gitar buatannya. Dengan latar belakang pendidikan bahasa Inggris dan minat di linguistik, bukan teknik elektronika, Nino berhasil mengubah hobi mendaur ulang komponen menjadi bisnis yang kini diperhitungkan di kancah global.
Sehat Effectors, perusahaan yang ia dirikan sebagai Co-Founder dan Chief Engineer, telah mengukir namanya di industri musik global, diam-diam menyelinap di antara dominasi brand-brand raksasa. Tanpa modal besar atau dukungan pemerintah, produk handmade dari Yogyakarta ini kini digunakan oleh musisi profesional dari Amerika hingga Jepang, dari Jerman hingga Afrika Selatan.
Kisah ini bukan sekadar tentang efek pedal atau komponen elektronik, melainkan tentang bagaimana tangan-tangan kreatif Indonesia mampu menciptakan "Sehat Style"—sebuah identitas yang kini begitu dikenal oleh komunitas musisi profesional di seluruh dunia. Sebuah fenomena menarik ketika "tone" atau karakter suara dari Yogyakarta bisa menggema di studio-studio rekaman dan panggung-panggung konser internasional.
Dalam dunia di mana setiap detail produksi musik diukur dengan standar kesempurnaan, Sehat Effectors justru berani tampil beda dengan "menjual ketidaksempurnaan". Filosofi kontradiktif ini ternyata menjadi kekuatan yang membuat produk mereka dicari, bahkan dihargai lebih oleh para musisi yang lelah dengan suara standar produksi massal. Di sinilah letak keunikan cerita perjalanan Sehat Effectors—kisah tentang bagaimana keterbatasan dapat diubah menjadi keunggulan.
Bunda Iffet meninggal dunia pada usia 87 tahun pada Sabtu (26/4/2025) pukul 22.42 WIB. Parlin Burman, atau yang lebih dikenal sebagai Pay, mantan gitaris Slank, turut mengungkapkan rasa kehilangan yang mendalam atas kepergian Bunda Iffet.
Iseng Posting di Instagram
Semua bermula dari sebuah unggahan di Instagram di tahun 2017. Saat itu Nino hanya iseng memposting hasil karyanya, mendaur ulang barang bekas menjadi efek pedal gitar. Menggunakan caption berbahasa Inggris, tak disangka unggahannya menarik perhatian calon pembeli dari Amerika.
"Tiba-tiba ada yang mengirimkan DM merespon postingan tersebut bahwa dia bertanya, 'Dijual apa tidak?' 'Ya dijual.' 'Kalau dijual, saya beli'," kenang Nino, ketika ditemui di kediamannya yang berlokasi di Kecamatan Ngaglik, Sleman, pada Minggu (27/4/2025).
Saat itu, tanpa pengalaman transaksi internasional, Nino harus mencari tahu sistem pembayaran antarnegara dengan cepat. Malam itu juga, atas saran pembeli pertamanya, ia membuat akun PayPal dan menerima pembayaran pertamanya. Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengirim barang ke Amerika.
"Saya kaget, 'loh dibayar?' Artinya harus saya kirim. Pertanyaan berikutnya, problem baru adalah mengirimnya bagaimana? Karena saya belum punya pengalaman sama sekali."
Dengan nekat, Nino membawa paketnya ke kantor pos, menerima risiko apapun yang mungkin terjadi. "Ya sudah, saya nekat mengirim, risikonya kalau barang hilang ya hilang semuanya termasuk saya harus mengganti uang, refund, dan tidak diganti," tuturnya.
Untungnya, barang tersebut sampai dengan selamat. Pembeli pertamanya puas dan memposting ulang barang buatan Nino, menciptakan efek bola salju yang membawa lebih banyak pesanan dari Amerika.
Berkah di Balik Pandemi COVID-19
Awalnya, Sehat Effectors hanya memproduksi efek pedal daur ulang, yang malah membuat produknya menjadi sangat eksklusif karena keterbatasan bahan. Menyadari hal ini, Nino dan rekannya mulai memikirkan untuk membuat produk standar yang bisa direproduksi ulang.
Mereka kemudian membuka lapak di reverb.com, marketplace khusus alat musik yang populer di Amerika, mirip e-Bay namun lebih spesifik. Langkah ini berhasil memperluas jangkauan brand Sehat Effectors ke musisi-musisi yang belum mengenal merek ini sebelumnya.
Pandemi COVID-19, yang semula mengancam bisnis karena kenaikan biaya di Reverb, justru menjadi katalisator perubahan strategi. Sehat Effectors memutuskan untuk berinvestasi membangun webstore sendiri. Tepat saat itu, kebijakan stimulus ekonomi di Amerika dan Eropa memberikan angin segar.
"Itu meledak. Penjualan eksponensial meledak. Benar-benar meledak sampai kewalahan," kata Nino mengenai periode 2020-2021.
Dari data situs mereka, lebih dari 70% pesanan datang dari Amerika, yang kemudian meningkat hingga 90%. Sehat Effectors mulai mengembangkan varian produk yang lebih beragam, dari lini vintage hingga modern. Secara brand, mereka sudah semakin kuat, bahkan menciptakan idiom "Sehat Style" yang dikenal di forum-forum seperti Reddit dan komunitas Instagram mereka.
Fenomena Distrust di Pasar Indonesia
Ironisnya, sementara produk mereka mendapat sambutan hangat di luar negeri, Sehat Effectors justru belum berhasil menembus pasar lokal Indonesia. Bukan karena mengabaikan, tetapi karena perbedaan perilaku pasar yang signifikan.
"Beda regional, beda demografi masyarakat itu berbeda budaya marketnya. Dan untuk kasus pasar lokal yang Indonesia itu ternyata memiliki behaviour market yang berbeda, dan itu belum kami explore," jelasnya.
Nino mengidentifikasi fenomena "distrust" di Indonesia, di mana transaksi langsung dari produsen ke konsumen cenderung dihindari karena ketakutan akan penipuan. Berbeda dengan pasar luar negeri yang lebih terbuka pada model direct selling.
"Di Indonesia, itu justru fenomenanya distrust, dimana yang namanya transaksi personal itu semakin ke sini semakin dihindari karena terjadi satu sama lain itu distrust, karena takut ditipu, karena kasusnya banyak."
Ini mengapa marketplace pihak ketiga seperti Tokopedia dan Shopee lebih populer di Indonesia. Untuk menembus pasar lokal, Sehat Effectors membutuhkan strategi khusus, termasuk penggunaan influencer dan gimmick marketing yang sesuai dengan pasar Indonesia—sesuatu yang membutuhkan riset dan sumber daya yang belum mereka miliki.
Positioning di Tengah Gempuran Produk China
Menghadapi kompetisi dari produk China yang menawarkan harga jauh lebih murah, Sehat Effectors memilih strategi yang cerdas, yakni tidak melawan secara langsung.
"China itu terlalu besar untuk dilawan, dan tidak mungkin karena kita juga tidak dapat dukungan juga dari pemerintah, karena kita pure jalan sendiri sampai detik ini," ungkap Nino.
Alih-alih bersaing secara head-to-head, mereka mengambil positioning yang berbeda dengan menciptakan produk yang tidak dibuat oleh produsen China.
"Kami memutuskan untuk mengambil positioning yang berbeda di pasar, dengan cara kalau China fokus di produk kategori tertentu, kita mengambil jalan yang beda supaya tidak bersaing secara langsung. Misal kalau China misalnya, kalau dalam bahasa teknisnya kalau di efek itu kan ada overdrive, biasa kita bikin overdrive dengan fitur yang di China tidak ada."
Strategi ini membuat Sehat Effectors dikenal di kalangan musisi profesional. "Kebanyakan konsumen dari Sehat itu sendiri, itu justru produser, artinya pelaku industri, profesional berarti. Artinya produk dari Sehat itu consider sebagai professional tools dalam kelas pasar professional."
Tantangan Pasar di tengah Isu Tarif Trump
Tantangan terbaru datang pada April 2025, ketika Presiden Amerika terpilih Donald Trump mengumumkan tarif balasan terhadap berbagai negara, termasuk Indonesia yang dikenai tarif tambahan sebesar 32%.
"Selain Amerika sekarang menentukan baseline pajak, baseline tarif biaya masuk itu 10%, tapi ditambah lagi dengan respirokal tarif yang berbeda-beda. Dalam konteks Indonesia itu kena 32%," jelas Nino.
Kebijakan ini memicu ketakutan di kalangan konsumen Amerika yang harus berpikir dua hingga tiga kali sebelum membeli produk impor. Namun, situasi ini justru menciptakan peluang baru.
"Sebenarnya itu terdapat satu celah dimana Indonesia itu kan masih punya akses lah untuk mendapatkan barang dari China. Karena memang tidak bisa, yang sulit untuk dibantah adalah fakta bahwa 90% bahan baku di seluruh Dunia itu asal dari China, bahan baku industri (efek gitar)."
Nino melihat bahwa ketika produsen lokal Amerika kesulitan mendapatkan bahan baku, Sehat Effectors yang masih memiliki akses ke bahan baku dari China bisa mendapatkan keuntungan kompetitif. Namun, ini juga menyadarkan mereka akan bahaya ketergantungan pada satu pasar.
"Ketergantungan terhadap satu sumber itu adalah hal yang salah. Seharusnya memang, makanya belajar dari itu kami mengambil posisi untuk sekarang untuk berpikir untuk melakukan diversifikasi pasar termasuk mungkin mulai meninjau kembali menggarap pasar lokal dan pasar di luar Amerika."
Produk Unik dan Cerita di Baliknya
Di antara berbagai produk Sehat Effectors, kategori fuzz menjadi best seller mereka di pasar internasional—ironisnya, justru kategori yang kurang populer di Indonesia.
Salah satu produk terunik mereka adalah RX Fuzz, sebuah konsep modern yang mengubah gitar menjadi semacam synthesizer. "Jadi suaranya bisa seperti knalpot, bisa suara laser," jelas Nino.
Mereka juga mengembangkan varian produk digital seperti reverb dengan tambahan oktaf, distorsi, fuzz, dan glitch. Yang menarik, Sehat Effectors mengambil pendekatan yang tidak konvensional dalam desain produk mereka.
"Kami justru menjual ketidaksempurnaan. Ketidaksempurnaan itu kan sebenarnya sebuah kategori industri yang tidak terdefinisikan. Dan kami mengambil peran itu, menjual ketidaksempurna," ungkap Nino, menjelaskan filosofi unik yang membedakan produk mereka.
Harapan pada Pemerintah
Setelah hampir delapan tahun mengarungi pasar global, Sehat Effectors kini berada di persimpangan penting. Ketergantungan pada pasar Amerika yang mencapai 90% telah terbukti menjadi bom waktu, memaksa mereka untuk memikirkan ulang strategi jangka panjang.
Diversifikasi pasar menjadi kunci, termasuk kemungkinan untuk akhirnya menggarap pasar lokal Indonesia yang selama ini belum terjamah. Nino juga memiliki harapan terhadap pemerintah untuk memberikan dukungan, terutama dalam hal regulasi.
"Harapan terhadap pemerintah ya, kalaupun pemerintah tidak bisa memberikan dukungan bentuk dana, seperti kalau di brand-brand China itu yang produk ini punya keuntungan dia di-backing pemerintah dari konteks dana dan regulasi. Minimal regulasi aja sih agar dimudahkan untuk dapat bahan baku, dimudahkan untuk ekspor."
Sementara mereka terus mengembangkan produk digital dan mencoba menemukan celah di pasar yang semakin ketat, Sehat Effectors tetap berpegang pada apa yang membuat mereka unik: menjual "ketidaksempurnaan" yang justru dicari oleh musisi profesional.
Dari Instagram iseng menjadi brand yang dikenal di lima benua, perjalanan Sehat Effectors adalah bukti bahwa produk Indonesia mampu bersaing di kancah global. Di tengah gempuran produk China yang murah dan kebijakan tarif Trump yang menghambat, Sehat Effectors terus mencari celah dan peluang—mengubah tantangan menjadi lompatan inovasi.
Setiap kotak efek gitar yang dikirim ke luar negeri tidak hanya membawa suara unik, tetapi juga cerita tentang bagaimana tangan-tangan kreatif dari Indonesia mampu menciptakan harmoni dalam industri yang didominasi raksasa. Seperti filosofi produk mereka yang menjual "ketidaksempurnaan", Sehat Effectors membuktikan bahwa kadang justru dari keterbatasanlah lahir karya yang paling otentik dan bernilai.