Cara Pemerintah Jepang Menangani Bencana Alam yang Bisa Ditiru Negara Lain

7 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta - Jepang dikenal sebagai salah satu negara dengan risiko bencana alam tertinggi di dunia. Letak geografisnya yang berada di pertemuan empat lempeng tektonik serta kondisi topografi yang didominasi pegunungan membuat negeri ini kerap dilanda gempa bumi, tsunami, banjir, hingga letusan gunung berapi. Karena itu, masyarakat Jepang tumbuh dengan budaya sadar bencana yang kuat dan terlatih menghadapi keadaan darurat.

Meskipun ancaman datang hampir setiap tahun, kerugian dan korban jiwa di Jepang sering kali jauh lebih rendah dibandingkan potensi sebenarnya. Hal ini tidak lepas dari kesiapan pemerintah yang mengembangkan sistem penanggulangan bencana modern, terintegrasi, dan selalu diperbarui berdasarkan evaluasi dari setiap insiden besar.

Liputan6.com akan mengulas cara kerja sistem kebencanaan Jepang secara menyeluruh, merujuk pada laman resmi pemerintah, jurnal ilmiah, serta laporan berbagai lembaga internasional. Pendekatan Jepang dianggap sebagai salah satu model paling efektif di dunia dan dapat menjadi inspirasi bagi negara-negara lain yang menghadapi risiko serupa, Selasa (9/12/2025).

Fondasi Sistem Penanggulangan Bencana Jepang

a. Kerangka Hukum yang Kuat

Modernisasi penanganan bencana di Jepang berawal dari serangkaian tragedi besar pasca Perang Dunia II, salah satunya Typhoon Ise Bay pada 1959 yang menelan lebih dari 5.000 korban jiwa. Bencana tersebut menjadi titik balik yang mendorong lahirnya Disaster Countermeasures Basic Act (1961)—kerangka hukum yang masih menjadi fondasi seluruh kebijakan kebencanaan nasional hingga hari ini.

Undang-undang ini menata sistem penanggulangan bencana secara menyeluruh, mulai dari pencegahan, mitigasi, respons darurat, hingga pemulihan jangka panjang. Seiring waktu, regulasi tambahan memperkuat arsitektur kebencanaan Jepang, termasuk pembangunan tanggul sungai, jaringan pengendali banjir, serta standar bangunan tahan gempa yang terus diperbarui.

b. Administrasi Tiga Lapis

Sistem kebencanaan Jepang dijalankan oleh tiga tingkatan pemerintahan: nasional, prefektur, dan kota/kabupaten—masing-masing dengan kewenangan dan rencana penanganannya sendiri.

  • Tingkat nasional dipimpin oleh Minister of State for Disaster Management,
  • Prefektur dan kota memiliki pusat komando kebencanaan,
  • Seluruh lapisan diwajibkan menyusun rencana penanggulangan.

Saat terjadi bencana besar, pemerintah pusat dapat membentuk Extreme Disaster Management Headquarters yang dipimpin langsung oleh Perdana Menteri. Mekanisme ini memastikan keputusan strategis dapat diambil dalam waktu singkat dan koordinasi berjalan tanpa jeda.

Sistem Peringatan Dini sebagai Pilar Utama

a. Teknologi Hidrometeorologi (Hydromet) Modern

Jepang diakui sebagai salah satu negara dengan sistem peringatan hidrometeorologi paling maju di dunia. Pemerintah mengembangkan berbagai inovasi, di antaranya:

  • Satelit Himawari-8 yang memiliki kecepatan observasi tiga kali lebih tinggi dibanding pendahulunya.
  • Jaringan radar XRAIN, yang mampu membaca intensitas hujan dengan resolusi 16 kali lebih detail dan lima kali lebih cepat, serta menampilkan data secara real-time kepada masyarakat.

Teknologi ini memungkinkan prediksi kondisi cuaca mikro yang sangat penting di Jepang, mengingat hujan ekstrem yang sering terjadi secara lokal dan mendadak.

b. Sistem Informasi Terintegrasi

Pasca bencana besar tahun 2011, Jepang memperkuat integrasi data lintas lembaga agar informasi dapat mengalir lebih cepat dan akurat. Sistem-sistem tersebut mencakup:

  • Emergency Medical Information System (EMIS) untuk koordinasi fasilitas medis,
  • Platform pemantauan gempa, tsunami, dan cuaca yang dapat diakses pemerintah pusat hingga daerah,
  • Sistem komunikasi terpadu yang menghubungkan badan meteorologi, instansi darurat, dan masyarakat.

Hasilnya, penanganan dapat dilakukan lebih cepat, terarah, dan konsisten.

Infrastruktur Fisik dan Teknologi Mitigasi Bencana

a. Fasilitas Pengendali Banjir Raksasa

Salah satu ikon mitigasi banjir Jepang adalah Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel, terowongan raksasa 50 meter di bawah tanah sepanjang lebih dari 6 km. Struktur ini berfungsi sebagai ruang penyimpanan air hujan ekstrem yang kemudian dialirkan ke sungai besar setelah kondisi terkendali.

Dengan pompa berdaya tinggi dan sistem kendali aliran canggih, fasilitas ini secara signifikan menurunkan risiko banjir di wilayah metropolitan Tokyo.

b. Infrastruktur Anti Gempa

Bangunan modern di Jepang dirancang dengan teknologi mitigasi gempa mutakhir. Misalnya, Tokyo Skytree memanfaatkan konsep "shimbashira"—teknik tradisional pada pagoda—dipadukan dengan oil dampers yang menyerap getaran.

Transportasi publik seperti Shinkansen juga dilengkapi fitur keamanan tingkat tinggi:

  • Sistem otomatis yang memutus arus listrik dalam dua detik setelah gelombang awal gempa terdeteksi,
  • Jembatan dan rel yang diretrofitting,
  • Alat pencegah anjlok khusus pada kereta cepat.

Selama lebih dari 50 tahun beroperasi, tidak pernah tercatat korban jiwa di Shinkansen akibat gempa.

Manajemen Darurat dan Koordinasi di Lapangan

a. Respons Cepat dalam 30 Menit

Penelitian ilmiah mencatat bahwa ketika bencana besar terdeteksi, pemerintah Jepang dapat mengumpulkan Emergency Response Team dalam 30 menit di kantor Perdana Menteri. Rapat kabinet darurat digelar segera, dan komando nasional ditetapkan untuk mengatur setiap langkah respons.

b. Onsite Disaster Management Headquarters

Dalam kasus bencana skala besar, pemerintah mendirikan markas lapangan untuk mempercepat koordinasi antarinstansi. Contohnya pada tanah longsor Hiroshima (2014), di mana markas tersebut menjadi pusat pengendali operasi penyelamatan dan evakuasi.

c. Rencana Tanggap Darurat Gempa Besar

Pada 2015, pemerintah menyusun rencana komprehensif menghadapi Nankai Trough Earthquake. Rencana tersebut mencakup:

  • jalur transportasi darurat,
  • penyelamatan dan pemadaman,
  • distribusi logistik dan suplai,
  • penanganan medis,
  • pengelolaan energi dan bahan bakar.

Seluruh respons disusun dengan timeline ketat 72 jam pertama, periode paling kritis untuk penyelamatan nyawa.

Sistem Medis Darurat: DMAT, JMAT, dan Rumah Sakit Basis Bencana

a. DMAT (Disaster Medical Assistance Teams)

DMAT adalah tim medis bergerak cepat yang langsung siaga saat gempa besar atau tsunami terjadi. Saat Gempa Besar Jepang Timur 2011, tercatat 383 tim DMAT dikerahkan ke lokasi terdampak untuk membantu penanganan korban.

b. Rumah Sakit Basis Bencana

Jepang memiliki lebih dari 695 rumah sakit basis bencana yang dilengkapi fasilitas tahan gempa, suplai listrik mandiri, dan kapasitas tampung besar. Rumah sakit ini menjadi pusat pelayanan utama selama situasi darurat.

c. EMIS untuk Koordinasi Cepat

Sistem EMIS memungkinkan rumah sakit, pemerintah daerah, dan tim medis berbagi data pasien, kapasitas ruang, serta kebutuhan logistik secara real-time. Integrasi ini mempercepat pengambilan keputusan dan distribusi layanan.

Pembelajaran Global dan Ekspor Pengetahuan Jepang

Jepang aktif membagikan pengalamannya melalui berbagai program kolaborasi internasional, seperti Technical Deep Dive on Hydromet Services bersama GFDRR dan Bank Dunia. Kekuatan utama Jepang terletak pada kemampuannya menggabungkan pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat dalam satu sistem kebencanaan yang solid.

Beberapa bentuk kontribusi Jepang antara lain:

  • Pengembangan sistem prediksi banjir untuk Sungai Chao Phraya di Thailand,
  • Transfer teknologi radar XRAIN ke negara mitra,
  • Pelatihan modernisasi peringatan dini untuk negara berkembang.

FAQ: Apa yang Bisa Dipelajari Negara Lain dari Manajemen Bencana Jepang?

  1. Apa sistem paling efektif yang bisa ditiru dari Jepang?Integrasi peringatan dini multibahaya, mulai dari satelit, radar mikro, hingga platform informasi publik.
  2. Bagaimana Jepang memastikan koordinasi cepat saat bencana? Dengan struktur tiga tingkat pemerintahan yang sudah memiliki rencana masing-masing serta pusat komando nasional yang aktif dalam 30 menit setelah bencana besar.
  3. Bagaimana Jepang mengelola penanganan medis saat bencana? Melalui DMAT, JMAT, dan jaringan rumah sakit basis bencana yang tersambung dengan EMIS.
  4. Bisakah infrastruktur seperti terowongan banjir raksasa ditiru negara lain? Bisa, tetapi membutuhkan investasi besar. Namun prinsipnya—menyimpan dan mengalihkan air banjir—bisa diterapkan dalam skala lebih sederhana.
  5. Apa nilai utama dari pendekatan Jepang terhadap disaster management? Kolaborasi nasional yang kuat, pemanfaatan data real-time, dan komitmen belajar dari setiap bencana.
Read Entire Article
Photos | Hot Viral |