Apakah Daging Kurban Boleh Diperjualbelikan dalam Islam? Simak Penjelasan Hukumnya

1 day ago 4

Liputan6.com, Jakarta Dalam konteks pelaksanaan ibadah kurban, muncul berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan tata cara dan aturan terkait daging hasil penyembelihan. Salah satu pertanyaan yang cukup sering dibahas adalah apakah daging kurban boleh diperjualbelikan atau tidak. Memahami hal ini sangat penting, agar ibadah yang dilakukan tetap sesuai dengan prinsip dan nilai agama.

Banyak yang bertanya-tanya mengenai status hukum jual beli daging dari hewan kurban. Menjawab pertanyaan apakah daging kurban boleh diperjualbelikan, para ulama menyatakan bahwa daging tersebut sebaiknya tidak dijual karena tujuan utama kurban adalah untuk berbagi dan menolong sesama, terutama mereka yang membutuhkan.

Penting untuk mengetahui dan memahami jawaban atas pertanyaan apakah daging kurban boleh diperjualbelikan, agar pelaksanaan ibadah berjalan sesuai dengan syariat. Daging kurban sejatinya merupakan bentuk pengorbanan yang diharapkan membawa manfaat sosial dan spiritual bagi banyak orang, bukan sebagai ladang bisnis. Oleh karena itu, menjaga niat serta tujuan utama dari ibadah ini menjadi hal yang harus diperhatikan oleh setiap pelaksanaan kurban.

Apakah daging kurban boleh diperjualbelikan? Berikut ini penjelasan lengkap yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (30/5/2025). 

Tradisi Muslim di Indonesia berbagi daging qurban kepada yang membutuhkan. Hewan kurban disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah

Hukum Menjual Daging Kurban oleh Shohibul Kurban

Dalam perspektif syariat Islam, menjual daging kurban oleh orang yang melaksanakan ibadah kurban, yang dikenal sebagai shohibul kurban, secara tegas dinyatakan sebagai hal yang haram dan tidak diperbolehkan. Larangan ini tidak hanya terbatas pada daging saja, melainkan mencakup seluruh bagian dari hewan kurban tersebut, termasuk kulit, tulang, bulu, dan semua bagian tubuh hewan yang disembelih sebagai bentuk ibadah kurban. Para ulama sepakat dan menegaskan bahwa tindakan memperjualbelikan apapun yang berasal dari hewan kurban oleh pekurban merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan syariat dan harus dihindari.

Dasar utama larangan ini berakar pada esensi dan makna ibadah kurban itu sendiri, yang pada hakikatnya merupakan persembahan khusus yang diberikan hanya kepada Allah SWT. Saat seseorang melakukan penyembelihan hewan kurban, maka seluruh bagian hewan tersebut dianggap telah menjadi milik Allah dan bukan lagi hak pribadi. Oleh karena itu, semua hasil dari penyembelihan itu wajib didistribusikan dan dibagikan sesuai dengan aturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh syariat Islam, terutama untuk dimanfaatkan oleh mereka yang berhak menerima, seperti fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Melakukan penjualan atas bagian hewan kurban sama halnya dengan merusak makna ibadah tersebut serta bertentangan dengan niat tulus yang seharusnya mendasari pelaksanaan kurban.

Imam Ahmad pernah terperanjat ketika ditanya tentang orang yang menjual daging kurban, seraya berkata: "Subhanallah, bagaimana dia berani menjualnya padahal hewan tersebut telah ia persembahkan untuk Allah tabaraka wa taala."

Rasulullah SAW memberikan peringatan keras bagi mereka yang menjual kulit hewan kurbannya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi, beliau bersabda:

مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ

Artinya: "Barang siapa yang menjual kulit hewan kurbannya, maka ibadah kurbannya tidak ada nilainya."

Hadits ini menunjukkan betapa seriusnya larangan menjual bagian hewan kurban. Ancaman bahwa kurban menjadi tidak bernilai menunjukkan bahwa perbuatan ini dapat membatalkan seluruh pahala ibadah kurban yang telah dilakukan. Oleh karena itu, setiap orang yang berkurban harus benar-benar menjaga agar tidak memperjualbelikan bagian apapun dari hewan kurbannya.

Dalil dan Penjelasan Larangan Memberikan Upah dengan Daging Kurban

Dalam ajaran Islam, selain adanya larangan untuk menjual daging kurban, terdapat pula ketentuan yang secara tegas melarang pemberian daging kurban sebagai bentuk upah kepada tukang jagal atau siapa pun yang membantu dalam proses penyembelihan hewan kurban. Larangan ini bersumber dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, di mana Rasulullah SAW secara jelas dan tegas mengharamkan pemberian bagian hewan kurban sebagai imbalan jasa kepada para pembantu tersebut. Ketentuan ini bersifat mutlak dan tidak mengenal pengecualian, baik tukang jagal tersebut termasuk orang yang berhak menerima kurban maupun tidak.

Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkannya untuk mengurusi penyembelihan unta kurban. Dalam hadits tersebut, beliau bersabda:

أَنَّ النَّبِي صلى الله عليه و سلم أَمَرَهُ أَنْ يَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ، وَ أَنْ يَفْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا حُوْمَهَا وَجُلُوْدَهَا وَجِلَالَهَا، وَ لَا يُعْطِيَ فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا

Artinya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan unta kurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal."

Dalam kasus apabila tukang jagal tersebut memang termasuk golongan yang berhak memperoleh daging kurban, seperti fakir miskin, maka pemberian bagian kurban kepadanya hanya boleh dilakukan dalam bentuk sedekah, bukan sebagai upah atau pembayaran atas jasanya. Perbedaan niat ini menjadi sangat penting dalam hukum Islam, karena sedekah adalah pemberian yang ikhlas untuk membantu sesama, sementara upah adalah balasan yang bersifat kontraktual dan bersyarat.

Oleh sebab itu, bagi seorang pekurban yang membutuhkan bantuan dalam penyembelihan hewan kurban dan hendak memberikan imbalan, dianjurkan agar upah tersebut diberikan dalam bentuk uang tunai atau barang lain yang bukan berasal dari bagian hewan kurban. Hal ini dimaksudkan agar kemurnian dan kesucian ibadah kurban tetap terjaga, serta seluruh bagian hewan kurban dapat dibagikan secara benar kepada pihak-pihak yang berhak sesuai dengan aturan syariat Islam.

Perbedaan Hak Orang Kaya dan Miskin atas Daging Kurban

Jika mengikuti mazhab Hanafi di atas, maka menjual daging kurban jelas mubah. Akan tetapi Syekh Sa‘id bin Muhammad Ba‘asyin dalam karyanya Busyral Karim Bisyarhi Masa’ilit Ta‘lim mengatakan: 

وتردد البلقيني في الشحم، وقياس ذلك أنه لا يجزئ كما في التحفة، وللفقير التصرف فيه ببيع وغيره أي لمسلم، بخلاف الغني إذا أرسل إليه شيء أو أعطيه، فإنما يتصرف فيه بنحو أكل وتصدق وضيافة، لأن غايته أنه كالمضحي   

Artinya:

Al-Bulqini sanksi perihal lemak hewan kurban. Berdasar pada qiyas, tidak cukup membagikan paket kurban berupa lemak seperti keterangan di kitab Tuhfah. Sementara orang dengan kategori faqir boleh mendayagunakan daging kurban seperti menjualnya atau transaksi selain jual-beli kepada orang muslim. Berbeda dengan orang kaya yang menerima daging kurban. Ia boleh mendayagunakan daging itu hanya untuk dikonsumsi, disedekahkan kembali, atau menjamu tamunya. Karena kedudukan tertinggi dari orang kaya sejajar dengan orang yang berkurban.

Kategori yang dimaksud dengan golongan kaya dalam konteks ibadah kurban adalah mereka yang memiliki kemampuan finansial yang memadai, sehingga mampu menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha tanpa mengalami kesulitan. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan anjuran bagi mereka yang tergolong mampu secara materi untuk melaksanakan kurban selama tidak ada halangan, atau hambatan tertentu yang menghalangi.

Sebaliknya, bagi golongan fakir atau kurang mampu, tidak perlu merasa khawatir atau bimbang apabila dalam kondisi tertentu mereka memilih untuk menjual daging kurban yang sudah menjadi hak mereka kepada pihak lain demi memenuhi kebutuhan hidup. Penjualan daging tersebut, baik dalam kondisi mentah maupun sudah dimasak, diperbolehkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan yang mendesak.

Sebagai tambahan, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, sangat dianjurkan agar panitia kurban menyediakan dana khusus yang dibebankan kepada para pekurban atau keluarga mereka guna menutupi biaya pemeliharaan hewan kurban dan biaya operasional lainnya yang mungkin timbul selama proses penyelenggaraan kurban. Langkah ini dilakukan agar panitia tidak perlu memaksakan menjual daging kurban demi menutup biaya tersebut, sehingga distribusi dan pembagian daging kurban tetap berjalan dengan lancar sesuai aturan syariat dan niat ibadah yang tulus.

Read Entire Article
Photos | Hot Viral |