Liputan6.com, Jakarta Dalam tradisi Idul Adha, daging kurban menjadi simbol kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama. Namun, muncul pertanyaan yang sering diperbincangkan, yaitu apakah daging kurban boleh dimakan sendiri tanpa membagikannya kepada orang lain? Hal ini penting untuk dipahami agar pelaksanaan ibadah kurban sesuai dengan nilai-nilai yang dianjurkan dalam ajaran agama.
Sebagian orang bertanya-tanya mengenai batasan dan tata cara pengelolaan daging hasil kurban. Menjawab pertanyaan apakah daging kurban boleh dimakan sendiri, para ulama menjelaskan bahwa daging tersebut sebaiknya dibagikan kepada yang berhak, seperti fakir miskin dan tetangga, agar manfaatnya tersebar luas.
Meski begitu, tidak dilarang jika pemilik hewan kurban mengonsumsi sebagian dagingnya, asalkan pembagian tetap dilakukan dengan proporsional dan tidak mengabaikan hak orang lain. Pemahaman yang tepat tentang apakah daging kurban boleh dimakan sendiri, dapat membantu umat Islam menjalankan ibadah dengan benar dan sesuai sunnah. Intinya, daging kurban adalah bentuk ibadah sosial yang menekankan nilai berbagi dan kepedulian.
Berikut ini dalil tentang apakah daging kurban boleh dimakan sendiri yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (30/5/2025).
Usai salat Ied, waktunya pemotongan hewan kurban dilakukan untuk langsung disalurkan ke kaum dhuafa yang membutuhkan. Antrean panjang hingga penggunaan bahan alami pengganti plastik menjadi bagian dalam pelaksanaan penyaluran hewan kurban kali ini.
Dalil Al-Quran Tentang Makan Daging Kurban
Allah SWT telah memberikan petunjuk yang sangat jelas dalam Al-Quran mengenai hukum mengonsumsi daging kurban. Petunjuk ini tercantum dalam surat Al-Hajj ayat 28 yang berbunyi:
لِّيَشْهَدُوا۟ مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ فِىٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ ۖ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ
Artinya:
"Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir."
Kata kunci dalam ayat ini adalah "فَكُلُوا۟ مِنْهَا" (fa kuluu minhaa) yang berarti "maka makanlah sebagian daripadanya". Ini adalah perintah langsung dari Allah SWT yang membolehkan bahkan memerintahkan orang yang berkurban untuk mengonsumsi sebagian dari daging kurbannya. Jadi, secara prinsip dasar, makan daging kurban sendiri adalah halal dan dianjurkan.
Namun, ayat ini juga menekankan kewajiban berbagi melalui kalimat "وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ" (wa ath'imul baa'isal faqiir) yang berarti "dan berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir". Ini menunjukkan bahwa daging kurban tidak boleh dimakan habis sendiri, melainkan harus dibagikan kepada yang membutuhkan.
Ayat ini mengajarkan keseimbangan sempurna dalam ibadah kurban: mendapat keberkahan dengan mengonsumsi sebagian daging kurban sambil menebar kasih sayang kepada sesama melalui pembagian kepada fakir miskin. Inilah hikmah indah dari syariat Islam yang selalu memperhatikan keseimbangan antara hak pribadi dan kepedulian sosial.
Rasulullah SAW telah memberikan contoh yang sangat baik dalam hal mengonsumsi daging kurban. Beliau tidak hanya mengajarkan melalui sabda, tetapi juga mempraktikkannya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Ini menjadi dalil kuat bahwa makan daging kurban sendiri bukan hanya diperbolehkan, tetapi juga dicontohkan oleh Rasulullah.
Dalam sebuah riwayat yang shahih disebutkan:
وَإِذَا كَانَ الأَضْحَى لَا يَأْكُل شَيْئًا حَتَّى يَرْجِعَ ، وَكَانَ إِذَا رَجَعَ أَكُلَ مِنْ كُبِدِ أَضْحِيَتِهِ
Artinya: "Pada saat Idul Adha, beliau (Nabi SAW) tidak makan apapun hingga pulang (dari sholat Idul Adha); dan ketika pulang, beliau makan limpa hewan kurban beliau."
Hadits ini menunjukkan kebiasaan mulia Rasulullah SAW yang berpuasa hingga waktu sholat Idul Adha selesai, kemudian berbuka dengan makan limpa dari hewan kurban beliau sendiri. Ini adalah sunnah yang sangat indah dan bernilai pahala besar jika kita ikuti dengan niat yang benar.
Perbedaan Antara Kurban Wajib dan Kurban Sunnah
Dalam pelaksanaan ibadah kurban, terdapat perbedaan mendasar antara kurban yang bersifat wajib dan kurban yang termasuk kategori sunnah. Perbedaan ini tidak hanya menyangkut status hukumnya, tetapi juga aturan terkait pengelolaan dan penggunaan daging kurban setelah penyembelihan. Untuk memahami hal tersebut secara lebih mendalam, khususnya menurut pandangan Mazhab Syafi'i, penting untuk mengulas ketentuan-ketentuan yang mengatur keduanya secara rinci.
Kurban Wajib
Kurban yang bersifat wajib, misalnya kurban nadzar, memiliki ketentuan yang sangat ketat dan tegas dalam pelaksanaannya. Berdasarkan Mazhab Syafi'i, seseorang yang melakukan kurban wajib dilarang mengonsumsi daging kurban tersebut secara langsung. Hal ini termasuk larangan bagi keluarga yang menjadi tanggungan wajib dari orang yang berkurban. Intinya, seluruh daging hasil kurban wajib ini harus diberikan sepenuhnya kepada orang-orang yang berhak menerimanya, khususnya kalangan fakir miskin dan dhuafa yang membutuhkan.
Ketentuan ini tidak memberikan ruang pengecualian, sehingga konsistensi dalam penyerahan daging kepada pihak-pihak yang berhak menjadi hal yang mutlak untuk dipatuhi. Tujuannya adalah agar ibadah kurban benar-benar menjadikan manfaat sosial serta menjalankan amanah ketakwaan yang terkandung di dalamnya.
Kurban Sunnah
Sebaliknya, kurban yang termasuk kategori sunnah memiliki aturan yang lebih longgar, terutama dalam hal pemanfaatan dagingnya oleh orang yang berkurban. Menurut pandangan Mazhab Syafi'i, orang yang berkurban sunnah diperbolehkan untuk memakan daging kurbannya sendiri, meskipun hanya sedikit, misalnya satu suapan, sebagai bentuk mendapatkan keberkahan dari ibadah tersebut.
Lebih jauh lagi, dalam literatur fiqh yang dikenal sebagai Qaul Jadid, dijelaskan bahwa konsumsi daging kurban oleh pemiliknya bisa mencapai hingga sepertiga bagian dari total daging. Sisanya kemudian disalurkan kepada sanak saudara dan masyarakat kurang mampu sesuai dengan prinsip-prinsip sosial dan agama. Hal ini sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yang menekankan pentingnya berbagi rezeki dengan sesama, terutama mereka yang membutuhkan.
Tata Cara Pembagian Daging Kurban Menurut Syariat Islam
Dalam pelaksanaan ibadah kurban, pembagian daging kurban merupakan aspek penting yang harus diperhatikan agar sesuai dengan tuntunan syariat dan tradisi yang telah disepakati oleh para ulama. Secara umum, pembagian daging kurban dianjurkan untuk dilakukan dengan prinsip keadilan dan kebaikan sosial, yang terbagi menjadi tiga bagian utama. Ketiga bagian ini tidak hanya bertujuan untuk memenuhi hak pemilik hewan kurban, tetapi juga untuk menjaga silaturahmi dengan tetangga serta memberikan manfaat kepada mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat.
1. Bagian untuk Shohibul Kurban dan Keluarganya
Sebagian dari daging kurban, tepatnya sekitar sepertiga dari keseluruhan hasil penyembelihan, diperuntukkan bagi shohibul kurban dan anggota keluarganya. Bagian ini merupakan hak mutlak mereka sebagai pelaku ibadah kurban. Meskipun demikian, meski shohibul kurban berhak atas bagian ini, mereka juga dapat memilih untuk membagikan sebagian dari bagiannya tersebut kepada pihak lain, seperti panitia pelaksana kurban atau orang-orang terdekat lainnya. Hal yang perlu ditekankan adalah, daging kurban yang menjadi hak shohibul kurban ini tidak boleh diperjualbelikan dalam bentuk apa pun, termasuk daging, kulit, maupun bulu hewan kurban tersebut. Ketentuan ini bertujuan agar ibadah kurban tetap suci dan tidak disalahgunakan untuk tujuan komersial.
2. Bagian untuk Sahabat, Kerabat, dan Tetangga
Sepertiga bagian selanjutnya dari daging kurban disarankan untuk diberikan kepada sahabat, kerabat, dan tetangga. Meski penerima ini mungkin secara ekonomi sudah mampu, mereka tetap berhak menerima bagian ini sebagai wujud mempererat tali silaturahmi dan menjalin kebersamaan. Memberikan daging kurban kepada orang-orang terdekat sekaligus menjadi sarana untuk menebar rasa kasih sayang dan meningkatkan kebersamaan dalam lingkungan sosial yang lebih dekat dengan shohibul kurban. Dengan demikian, kebahagiaan ibadah kurban menjadi milik bersama dan tidak hanya dinikmati oleh pemilik hewan saja.
3. Bagian untuk Fakir Miskin, Yatim, Piatu, dan Kaum Dhuafa
Bagian terakhir, yakni sepertiga dari daging kurban, wajib dialokasikan untuk fakir miskin, anak yatim, piatu, dan kaum dhuafa yang sangat membutuhkan bantuan. Kelompok ini merupakan prioritas utama penerima daging kurban karena mereka adalah yang paling membutuhkan uluran tangan dan perhatian dari sesama. Shohibul kurban pun dianjurkan untuk dapat menambah jatah atau kuota hewan kurban yang diperuntukkan bagi kalangan kurang mampu ini. Penambahan kuota ini menjadi salah satu bentuk kepedulian dan solidaritas sosial dari orang yang berkurban, sehingga manfaat ibadah ini dapat dirasakan lebih luas dan signifikan oleh masyarakat yang kurang beruntung.